Sabtu, 24 Maret 2012

PANDANGAN HUKUM ISLAM TENTANG TAHLILAN


Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami Al Qur’an tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga Allah subhanahu wata’ala mencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk senantiasa menerima kebenaran hakiki.

Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”. 

Termasuk  perkara  penting  yang  sering  menjadi  perdebatan  sengit  bahkan  terkadang  menyebabkan putusnya hubungan yaitu berkumpulnya keluarga orang yang meninggal di suatu tempat untuk
menyambut  orang‐orang  yang  datang  untuk  melayat  jenazahnya,  dan  telah  menjadi tradisi  kalau  keluarga  dari  orang  yang  telah meninggal  dunia  berkumpul  dalam  satu tempat  (di  rumah duka), demi memudahkan para pelayat daripada harus mengunjungi satu persatu dari keluarga orang yang telah meninggal tersebut di tempat – tempat yang berbeda terutama jika ia tidak sempat mengantarkan jenazahnya. kadang2 makanan yang disediakan seperti pada pesta kecil-kecilan.

Sebenarnya acara tahlilan telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya.  Hal ini jelas kita temui pada Firman Allah pada Surah An Nisaa’: 59 (artinya) : “Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” 

Untuk itu perlu kita melihat dasar-dasar pemikiran dan dalil-dalil yang diambil oleh kalangan yang pro maupun yang kontra tentang Tahlilan ini.

Kalangan yang Mendukung Tahlilan
Madzhab  Ahlussunnah  wal  Jama’ah  mempergunakan  Ijma’  dan  Qiyas  kalau  tidak  mendapatkan  dalil  nash  yang  shahih  (jelas)  dari Al‐Qur’an  dan As‐Sunnah. Kita  tidak  dapat menghalalkan sesuatu atau mengharamkan sesuatu, kecuali dengan dalil‐dalil yang  jelas berdasarkan ke 4 sumber hukum di atas.   Janganlah kita mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah  SWT dan Rasul‐Nya, dan jangan  pula menghalalkan  apa  yang  diharamkan Allah  SWT  dan Rasul‐Nya. Di  dalam Ilmu Fiqih apabila kita melihat suatu perbuatan di  tengah‐tengah masyarakat, kita  tidak bisa dengan secepat mungkin berkata halal atau haram. Kita sebaiknya mengikuti dan mengambil pelajaran dari kisah sahabat Mu’adz r.a. ketika  beliau di utus oleh Rasulullah saw ke negeri Yaman.
“Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda  bagaimana  engkau menentukan  apabila  tampak  kepadamu  suatu  ketentuan?   Mu’adz menjawab;  saya  akan menentukan  hukum  dengan  kitab Allah?  kemudian  nabi bersabda;  kalau  tidak  engkau  jumpai  dalam  kitab  Allah? Mu’adz  menjawab;  dengan Sunnah  Rasulullah  s.aw.  kemudian  nabi  bersabda;  kalau  tidak  engkau  jumpai  dalam Sunnah  Rasulullah  dan  dalam  kitab  Allah? Mu’adz  menjawab;  saya  akan  berijtihad dengan  pendapat  saya  dan  saya  tidak  kembali;  Mu’adz  berkata:  maka  Rasulullah memukul  dadanya,  kemudian Mu’adz  berkata;  Alhamdulillah  yang  telah  memberikan  taufiq kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai‐Nya."

Langkah  yang  di  ambil  dari  sahabat Mu’adz  r.a.  di  atas  dapat  kita  jadikan  pedoman dalam  mengambil  suatu  langkah‐langkah  hukum  agama  apabila  kita  melihat  dan mendapati amalan baru‐baru yang berkembang di masyarakat.

Pengiriman hadiah pahala bagi mayit  ini  sunnah  secara  syariat  sebagaimana Rasulullah SAW.   mencontohkan  dan  membolehkannya,  ketika  salah  seorang  yang  menemui Rasulullah  SAW  dan  bertanya  tentang  suatu  hal  sebagaimana  teriwayat  dalam  hadist berikut:
 
  • Dari Abu Dzar radliallahu 'anhu, dari Nabi shalla Allahu alaihi wa sallam, sesungguhnya beliau bersabda: "Bahwasanya pada setiap tulang sendi kalian ada sedekah. Setiap bacaan tasbih itu adalah sedekah, setiap bacaan tahmid itu adalah sedekah, setiap bacaan TAHLIL itu adalah sedekah, setiap bacaan takbir itu adalah sedekah, dan amar ma’ruf nahi munkar itu adalah sedekah, dan mencukupi semua itu dua rakaat yang dilakukan seseorang dari sholat Dluha.” (Hadits riwayat: Muslim).
  •  
  •  Dari Aisyah  ra bahwa sungguh  telah datang seorang  lelaki pada nabi saw seraya berkata:  “Wahai Rasulullah,  sungguh  ibuku  telah meninggal mendadak  sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?”, Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits no.1004).
  • Seorang  laki‐laki  bertanya  kepada  Rasulullah  SAW,  “Ayahku meninggal  dunia, dan ia meninggalkan harta serta tidak memberi wasiat. Apakah dapat menghapus dosanya bila  saya  sedekahkan?” Ujar Nabi SAW, “Dapat!”  [HR. Ahmad, Muslim dari Abu Hurairah]
 Memang hadist di atas adalah berhubungan dengan sedeqah jariyah bagi si mayit namun  jelas sekali kejadian di atas adalah ketika orang  tua dari sang  lelaki  itu  telah meninggal, bukan ketika orang tua masih hidup pada saat sang anak menyedekahkan harta sang Ibu dan pahalanya bagi orang tua mereka.  Jadi  jelaslah  bahwa  sang  anak mensedeqahkan  harta  dari  orang  tuanyadan mengirim  menghadiahkan pahala sedeqah tersebut bagi orang tuanya yang telah meninggal dunia. 

Banyak hadist hadist dari Rasulullah saw. dan riwayat sahabat r.a. yang nyata dan kuat  membolehkan mengirim pahala bagi mayit khususnya  lewat bacaan Al‐Qur’an, doa dan  sedeqah adalah dari hadist‐hadist berikut ini :
 
  • Abu Muhammad As Samarkandy, Ar Rafi’iy dan Ad Darquthniy, masing‐masing menunjuk  sebuah  hadits  yang  diriwayatkan  oleh  Imam Ali  bin Abi  Thalib  k.w. bahwa  Rasul  saw  bersabda:  “Barangsiapa  lewat  melalui  kuburan,  kemudian  ia membaca  “Qul  Huwallahu  Ahad”  sebelas  kali dengan niat menghadiahkan pahalanya pada para penghuni kubur,  ia sendiri akan memperoleh sebanyak yang diperoleh semua penghuni kubur”.
  • Abu  Hurairah  ra  meriwayatkan  bahwasanya  Nabi  Muhammad  saw  bersabda: “Barangsiapa yang berziarah di kuburan, kemudian ia membaca ‘Al Fatihah’, ‘Qul Huwallahu Ahad’ dan ‘Alhakumut takatsur’, lalu ia berdoa Ya Allah, kuhadiahkan pahala  pembacaan  firmanMu  pada  kaum  Mu’minin  dan  Mu’minat  penghuni kubur  ini, maka mereka  akan menjadi  penolong  baginya(pemberi  syafaat)  pada hari kiamat”.
  •  Diriwayatkan  oleh Daruquthni  bahwa  seorang  laki‐laki  bertanya,  “Ya Rasulullah SAW,  saya  mempunyai  ibu  bapak  yang  selagi  mereka  hidup,  saya  berbakti kepadanya.  Maka  bagaimana  caranya  saya  berbakti  kepada  mereka,  setelah mereka meninggal dunia?”  Ujar Nabi SAW, “Berbakti  setelah mereka meninggal, caranya  ialah  dengan melakukan  shalat  untuk mereka  disamping  shalatmu,  dan berpuasa untuk mereka disamping puasamu!”
  • Seorang  sahabat  bertanya  kepada  Rasulullah  saw,  seraya  berkata:  "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami bersedekah untuk keluarga kami yang sudah mati, kami  melakukan  haji  untuk  mereka  dan  kami  berdoa  bagi  mereka;  apakah  hal tersebut  pahalanya  dapat  sampai  kepada mereka?  Rasulullah  saw  bersabda:  Ya! Sungguh  pahala  dari  ibadah  itu  benar‐benar  akan  sampai  kepada  mereka  dan sesungguhnya mereka itu benar‐benar bergembira  dengan kiriman  pahala tersebut, sebagaimana salah seorang dari kamu sekalian bergembira dengan  hadiah apabila hadiah tersebut dikirimkan kepadanya!ʺ
  • “Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik, ia berkata; Nabi SAW telah menunaikan shalat jenazah, aku mendengar Nabi SAW berdoa; Ya Allah!! ampunilah dia, rahmatilah dia, maafkan dia.”
  • Dalam  riwayat  lainnya dari Anas bin Malik  r.a. bahwa Rasulullah  saw bersabda: ”Apabila  seorang mukmin membaca  ayat Kursi   dan menghadiahkan  pahalanya kepada para penghuni kubur, maka Allah akan memasukkan empat puluh cahaya ke setiap kubur orang mukmin  mulai dari ujung dunia bagian timur sampai barat, Allah akan melapangkan  liang kubur mereka, memberi pahala enam puluh orang nabi  kepada  yang  membaca,  mengangkat  satu  derajat  bagi  setiap  mayit,  dan menuliskan sepuluh kebajikan bagi  setiap mayit.”
  •  Al‐Baihaqiy  di  dalam  Sya’bul‐Iman  mengetengahkan  sebuah  hadist  yang diriwayatkan  oleh  Mi’qal  bin  Yassar  r.a.,  dan  dalam  Al‐Jami’ush‐Shaghir  dan    Misykatul‐Mashabih  bahwa  Rasulullah  saw  bersabda:  “Barang  siapa  membaca Yasin  semata‐mata  demi  keridhoan  Allah,  ia  memperoleh  ampunan  atas  dosa‐dosanya  yang  telah  lalu.  Karena  itu  hendaknya  kalian membacakan  Yasin  bagi orang – orang yang telah meninggal dunia di antara kalian.”
  • Diriwayatkan  pula  bahwa  Siti  Aisyah  pernah  beritikaf  atas  nama  adiknya Abdurrahman bin Abu Bakar yang telah meninggal dunia. Bahkan Siti Aisyah juga memerdekakan budak atas namanya (adiknya). (Al Imam Qurthubi di dalam kitab At‐Tadzkirat Bi Ahwali al‐Mauta wa Umur al‐Akhirat.
 Hadits‐hadits di atas dijadikan dalil oleh para ulama salaf dan kalaf untuk menfatwakan  kebolehan  mengirim  /  menghadiahkan  pahala  baik  sedeqah,  bacaan  Al  Qur’an  dan mendoakan bagi mayit.
 
Sedangkan mengenai tentang jamuan makanan / minuman ala kadarnya bagi tamu ketika  tahlilan  (para  pelayat  /  pentakziyah) merupakan  amalan mulia  yang  sangat  dianjurkan  untuk memuliakan mereka (tamu).  Jamuan  sederhana  (ala kadarnya)  ini bisa di kategorikan  sebagai  sedeqah dari keluarga  (shohibul bait) yang mana pahala dari sedeqah ini bisa  di hadiahkan kepada mayyit (yang meninggal) atau untuk dirinya sendiri (keluarga mayyit).   
Memberi  jamuan  yang  biasa  diadakan  ketika  ada  orang  meninggal,  hukumnya  boleh  (mubah),  dan menurut mayoritas  ulama  bahwa memberi  jamuan  itu  termasuk  ibadah  yang  terpuji  dan  dianjurkan.  Sebab,  jika  dilihat  dari  segi  jamuannya  termasuk  sedekah   yang  dianjurkan  oleh  Islam  yang  pahalanya  dihadiahkan  pada  orang  telah meninggal.  Dan lebih dari itu,  ada tujuan lain yang ada di balik  jamuan tersebut, yaitu ikramud dla`if  (menghormati  tamu),  dengan  bersabar menghadapi musibah  dan  tidak menampakkan  rasa susah dan gelisah kepada orang lain.

Mengenai  makan  dirumah  duka,  sungguh  Rasul  saw  telah  melakukannya,  dijelaskan  dalam Tuhfatul Ahwadziy :

“Riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam  sunannya  dengan  sanad  shahih,  dari  ayahnya,  dari  seorang  lelaki  anshar,  berkata  :  kami keluar bersama Rasul  saw dalam  suatu penguburan  jenazah,  lalu kulihat Rasul  saw memerintahkan pada penggali kubur  untuk memperlebar dari arah kaki dan dari  arah  kepala,  ketika  selesai  maka  datanglah  seorang  utusan  istri  almarhum,  mengundang  Nabi  saw  untuk  bertandang  kerumahnya,  lalu  Rasul  saw  menerima undangannya  dan  kami  bersamanya,  lalu  dihidangkan  makanan,  lalu  Rasul  saw  menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu  lalu  kesemuanyapun  makan.  
 
Riwayat  Abu  Dawud  dan  Baihaqi  dalam  Dalail  Nubuwwah,  demikian  pula  diriwayatkan  dalam  AL  Misykaah,  di  Bab  Mukjizat,  dikatakan  bahwa  ketika  beliau  saw  akan  pulang  maka  datanglah  utusan  istri  almarhum.. dan hal  ini merupakan Nash  yg  jelas bahwa Rasulullah  saw mendatangi  undangan  keluarga  duka,  dan  berkumpul  bersama  sahabat  beliau  saw  setelah  penguburan dan makan”. (Tuhfatul Ahwadziy Juz 4 hal 67).
 
Imam Thawus berkata: Seorang yang mati akan beroleh ujian dari Allah dalam kuburnya  selama  7  hari.  Untuk  itu,  sebaiknya mereka  (yang masih  hidup) mengadakan  jamuan  makan  (sedekah) untuknya selama hari‐hari  tersebut. Sahabat Ubaid  ibn Umair berkata:  “Seorang mukmin dan seorang munafiq sama‐sama akan mengalami ujian dalam kubur.  Bagi seorang mukmin akan beroleh ujian selam 7 hari, sedang seorang munafiq selama 40  hari di waktu pagi.”  (Al Hawi lil Fatawa as Suyuti, Juz II hal 178)
 
 
Kalangan yang Menolak Tahlilan

  • “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agamamu.” (QS. al-Ma‘idah [5]: 3). disini Allah mengatakan bahwa Agama Islam telah sempurna.
  • Segala bentuk bid’ah dalam Ad-Dien hukum ialah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Arti : Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yg baru, krn sesungguh mengadakan hal yg baru ialah bid’ah, dan setiap bid’ah ialah sesat”. [Hadits Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih]. 
  • Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,“Arti : Barangsiapa mengadakan hal yg baru yg bukan dari kami maka peruntukan tertolak”.
  • Hadis riwayat Muslim : “Jika manusia meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga : “sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang selalu mendoakan orang tuanya”. Mereka berkata : “Kata-kata “terputuslah amalnya” menunjukkan bahwa amal-amal apapun kecuali yang tiga itu tidak akan sampai pahalanya kepada mayit.
  •  Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya seseorang itu tidak akan menanggung dosa seseorang yang lain dan bahwasanya manusia tidak akan memperolehi ganjaran melainkan apa yang telah ia kerjakan.” (An-Najm: 38-39). Berkata Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rohimahulloh: “Melalui ayat yang mulia ini, Imam Syafi’i rohimahulloh dan para pengikutnya menetapkan bahwa pahala bacaan (Al-Qur’an) dan hadiah pahala tidak sampai kepada orang yang mati, karena bacaan tersebut bukan dari amal mereka dan bukan usaha mereka. Oleh karena itu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan umatnya, mendesak mereka untuk melakukan perkara tersebut dan tidak pula menunjuk hal tersebut (menghadiahkan bacaan kepada orang yang mati) walaupun hanya dengan sebuah dalil pun.”

Islam telah menunjukkan hal yang dapat dilakukan oleh mereka yang telah ditinggal mati oleh teman, kerabat atau keluarganya yaitu dengan mendo’akannya agar segala dosa mereka diampuni dan ditempatkan di surga Alloh subhanahu wa ta’ala. Sedangkan jika yang meninggal adalah orang tua, maka termasuk amal yang tidak terputus dari orang tua adalah do’a anak yang sholih karena anak termasuk hasil usaha seseorang semasa di dunia.

Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)

Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)

Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami.

Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:
اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ
“Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya).

Sekali lagi, bukan pihak yang sedang berduka yang harus menyajikan makanan untuk para pelawat .
 
 
 
????????? 
  1. Ulama sepakat bahwa amal jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang soleh, pahalanya akan tetap mengalir kepada si mayit. 
  2. Ulama menyepakati doa akan sampai kepada mayit, sedangkan masalah bacaan Al-Qur'an, tahmid, tahlil yang dilakukan orang lain kepada si mayit ulama masih berbeda pendapat. Tidakkah lebih baik apabila anak sendiri yang memberikan sedekah tahmid, tahlil kepada orang tua dan baru beramai2 berdoa untuk si mayit??
  3. Penyediaan makanan dan minuman bagi para penta’ziyah atau para hadirin haruslah disiapkan oleh para tetangga atau keluarga jauh dari si mayit tanpa membebankan keluarga dekat si mayit. Dalam penyediaan ini juga harus dihindari kemubadziran dalam penyediaannya.
  4. Adapun berkumpulnya masyarakat di rumah keluarga si mayit bisa dikategorikan kedalam bentuk ta’ziyah namun hendaknya ta’ziyah tidak dilakukan terlalu sering karena akan menambah kesedihan mereka, cukup dilakukan satu kali saja. Acara ini tidak mesti terpaku dengan hari-hari tertentu yang selama ini terjadi di masyarakat serta harus menghindari hal-hal yang dilarang oleh agama.
  5. tentang penyediaan makanan oleh anak (keluarga) yang dikatakan sedekah yang juga masih jadi bahan perdebatan ulama, tidakkah lebih baik lagi jika uang tersebut untuk penyediaan makanan tersebut disedekahkan kepada Anak Yatim, orang miskin atas si mayit maupun hal lain untuk amal jariyah si mayit???