Minggu, 07 September 2014

QUNUT DAN PERBEDAAN FIQIH NYA



1.        PENGERTIAN QUNUT

Qunut mempunyai beberapa arti, antara lain berarti tegak, taat berbakti, berdoa sambil berdiri, berlaku ikhlas dan berdiam diri dalam sholat mendengarkan bacaan imam. Adapun pengertian qunut menurut istilah, adalah beberapa kalimat yang bersifat doa yang dibaca ketika i’tidal (berdiri setelah bangun dari ruku’) sesudah membaca lafadz sami ’allahulimanhamidah
Adapun do'a qunut yang dimaksud adalah sebagai berikut :

اَلَّلهُمَّ اهْدِ نِي فِيْمَنْ هَدَ يْتَ, وَعَا فِنِي فِيْمَنْ عَا فَيْتَ،  وَتَوَلَّنِي  فِيْمَنْ تَوَ لَّيَتَ،  وَبَارِكْ لِي فِيْمَا اَعْطَيْتَ،  وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ،  فَاِنَّكَ تَقْضِى وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ،  وَاِنَّهُ لَايَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ،  وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَا دَيْتَ،  تَبَا رَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ،  فَلَكَ اْلحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، نَسْتَغْفِرُكَ وَنَتُوْبُ اِلَيْكَ.

Artinya :Ya Allah, berikanlah kami petunjuk seperti orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk, Berilah kami perlindungan seperti orang-orang yang telah Engkau beri perlindungan. Berilah kami pertolongan sebagaimana orang-orang yang telah Engkau beri pertolongan. Berilah berkah pada segala yang telah Engkau berikan kepada kami. Jauhkanlah kami dari segala kejahatan yang telah Engkau pastikan. Sesungguhnya Engkau adalah Dzat yang Maha menentukan dan Engkau tidak dapat ditentukan. Tidak akan hina orang yang Engkau lindungi. Dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Engkau Maha Suci dan Maha luhur. Segala puji bagi-Mu dan atas segala yang Engkau pastikan. Kami memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”


2.        SEJARAH QUNUT

Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa awal mula dilakukannya pembacaan qunut oleh Rasulullah s.a.w. itu adalah ketika 40 orang atau 70 orang penghafal Qur;an dibantai oleh Bani Sulaim, Bani Ri’l dan Bani Dzakwan di dekat mata air Bir Ma’unah.
Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar telah menceritakan kepada kami Abdul Warits telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz dari Anas r.a., dia berkata : “Nabi s.a.w. pernah mengutus tujuhpuluh orang untuk suatu keperluan, mereka disebut sebagai qurra` (para ahli al Qur’an), mereka di hadang oleh penduduk dari bani Sulaim, Ri’l dan Dzakwan dekat mata air yang disebut dengan Bi’r Ma’unah, mereka berkata, “Demi Allah, bukan kalian yang kami inginkan, kami hanya ada perlu dengan Nabi s.a.w.” Mereka akhirnya membunuh para sahabat tersebut, maka Nabi s.a.w. mendo’akan kecelakan kepada mereka (Sulaim, Ri’l dan Dzakwan) selama sebulan pada shalat shubuh, itu adalah awal kali dilakukannya qunut, sebelumnya kami tidak pernah melakukan do’a qunut.” (H.R. Bukhari)
Telah menceritakan kepada kami Abdush Shamad dan ‘Affan keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Tsabit dari Hilal dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata; “Beliau pernah mengirim utusan kepada mereka untuk mengajak memeluk Islam, namun mereka justru membunuh utusan tersebut.” ‘Affan berkata dalam haditsnya, ia berkata; Ikrimah berkata; “Ini adalah permulaan qunut.” (H.R. Ahmad)

 3.        WAKTU QUNUT

1) Qunut dibacakan selama 20 hari
Telah menceritakan kepada kami Aswad telah menceritakan kepada kami Abu Bakar dari Humaid dari Anas berkata : “Rasulullah s.a.w. pernah melakukan qunut selama dua puluh hari”. (H.R. Ahmad)

2) Qunut dibacakan selama sebulan penuh
Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin “Ali telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail telah menceritakan kepada kami ‘Ashim Al Ahwal dari Anas r.a. berkata,: “Rasulullah s.a.w. melaksanakan do’a qunut selama sebulan pada waktu terbunuhnya para Qurra’ (penghafal AL Qur’an). Dan belum pernah aku melihat Rasulullah s.a.w. sedemikian sedih yang melebihi kesedihannya pada waktu itu”. (H.R. Bukhari)
Anas bin Malik r.a. menjawab; ” Rasulullah s.a.w. melakukan qunut selama sebulan, beliau mendo’akan kebinasaan untuk orang-orang yang membantai sahabatnya yang dijuluki Al Qurra’ (Para Ahlul Qur’an).” (H.R. Muslim)
Telah menceritakan kepada kami ‘Affan telah menceritakan kepada kami Hammam dari Qatadah dari Anas r,a, : “Nabi S.a.w. pernah melakukan qunut selama sebulan lalu meninggalkannya”. (H.R. Ahmad)
Dari Qais bin Rabi’ dari Ashim bin Sulaiman, kami berkata kepada Anas r.a. : Sesungguhnya suatu kaum menganggap Nabi s.a.w tidak putus-putus berqunut di (shalat) subuh, lalu Anas berkata: Mereka telah berdusta, karena beliau tidak qunut melainkan satu bulan saja, yang mendoakan kecelakaan satu kabilah dari kabilah-kabilah kaum musyrikin.” [H.R. Al-Khatib]

3) Qunut dibacakan seterusnya
Telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq berkata, Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far, yaitu Ar-Razi dari ar-Rabi’ bin Anas dari Anas bin Malik r.a. berkata, “Rasulullah s.a.w. masih selalu mengerjakan qunut subuh hingga meninggal dunia.” (H.R. Ahmad)

4) Tidak Ada Doa Qunut
Telah menceritakan kepada kami Hatim bin Bakr Adl Dlabbi berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ya’la Zunbur berkata, telah menceritakan kepada kami ‘Anbasah bin ‘Abdurrahman dari Abdullah bin Nafi’ dari Bapaknya dari Ummu Salamah ia berkata, “Rasulullah s.a.w. melarang untuk melakukan qunut dalam shalat subuh. ” (H.R. Ibnu Majah)
Berkata Muhammad bin Ajlan dari Nafi’, dari Umar, katanya: Pernah Rasulullah s.a.w mengutuk orang-orang musyrik dengan menyebut nama-nama mereka sampai Allah menurunkan Q.S. Ali Imran [3]. 127 Laisa laka minal-amri syaiun (tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu).”(H.R. Bukhari)
Adalah Rasulullah s.a.w. ketika selesai membaca (surat dari rakaat kedua) di shalat Fajr dan kemudian bertakbir dan mengangkat kepalanya (I’tidal) berkata : “Sami’allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu, lalu beliau berdoa dalam keadaan berdiri. “Ya Allah selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah dan orang-orang yang lemah dari kaum mu`minin. Ya Allah keraskanlah pijakan-Mu (adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan jadianlah atas mereka tahun-tahun (kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah Lihyan, Ri’lu, Dzakw an dan ‘Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian sampai kepada kami bahwa beliau meningalkannya tatkala telah turun ayat : “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim“. (H.R.Bukhari Muslim)
Sebagian ulama berpendapat  berdasarkan hadits di atas tidak boleh lagi ada qunut untuk mengutuk / mendoakan keburukan bagi suatu kaum. Dan sebagian dengan menanggap mansukh qunut berdasarkan hadits ini. Namun Imam Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa hadits ini tidak menunjukkan mansukhnya qunut.

4.        MACAM – MACAM QUNUT

Ada 3 (tiga) macam qunut dalam sholat:
1)      Qunut dalam shalat witir
Qunut ini disyariatkan disetiap sholat witir secara berkala, berdasarkan hadîts al-Hasan bin ‘Ali  radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata:

عَلَّمَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلِمَاتٍ أَقُولُهُنَّ فِي الْوِتْرِ اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِي وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْت

Artinya : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajariku do’a-do’a yang aku ucapkan dalam witir yaitu:
اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِي وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْت
(HR at-Tirmidzi)

Demikian juga, hal ini diamalkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dijelaskan Ubai bin Ka’ab dalam penuturan beliau:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَنَتَ فِى الْوِتْرِقَبْلَ الرُّكُوعِ                
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut dalam witir sebelum rukû’.” (HR.Abû Dâwud)".

2)      Qunut Nâzilah 
Qunut ini dilaksanakan ketika ada musibah atau bencana.
Qunut ini juga disyariatkan dengan dasar amalan Rasulullah SAW, diantaranya:
قَنَتَ النَّبِىُّ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ
"Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut (Nâzilah) selama sebulan, berdo’a untuk kehancuran Ra’i dan Dzakwân. (HR al-Bukhâri)." 
                 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah  rahimahullah menyatakan: Qunut disyari’atkan pada saat adanya bencana dan ini adalah pendapat yang dipegang oleh ulama fikih dan ahli hadits. Ini diambil dari Khulafâ’ Râsyidîn.

3)      Qunut khusus dalam sholat subuh
Ada sebagian kalangan yang beranggapan bahwa membaca do’a qunut ketika shubuh adalah tidak sunnah. Bahkan haram hukumnya, karena Rasulullah Saw tidak melaksanakannya. Adapula yang berpendapat bahwa membaca do’a qunut waktu sholat subuh adalah sunnah.


5.        PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG QUNUT SUBUH
A.       DASAR YANG MELAKUKAN QUNUT SUBUH

Hadits dari Anas ra.: “Bahwa Nabi saw. pernah qunut selama satu bulan sambil mendoakan kecelakaan atas mereka kemudian Nabi meninggalkannya.Adapun pada shalat subuh, maka Nabi melakukan qunut hingga beliau meninggal dunia”
Hadits ini diriwayatkan oleh sekelompok huffadz dan mereka juga ikut meriwayatkannya dan mereka juga ikut menshahihkannya. Diantara ulama yang mengakui keshahihan hadis ini adalah Hafidz Abu Abdillah Muhammad ali al-balkhi dan Al-Hakim Abu Abdillah pada beberapa tempat di kitabnya serta imam Baihaqi.
Hadits ini juga turut di riwayatkan oleh Darul Quthni dari beberapa jalan dengan sanad-sanad yang shahih.
Dikatakan oleh Umar bin Ali Al Bahiliy, dikatakan oleh Khalid bin Yazid, dikatakan Jakfar Arraziy, dari Arrabi’ berkata : Anas ra ditanya tentang Qunut Nabi saw bahwa apakah betul beliau saw berqunut sebulan, maka berkata Anas ra : beliau saw selalu terus berqunut hingga wafat, lalu mereka mengatakan maka Qunut Nabi saw pada shalat subuh selalu berkesinambungan hingga beliau saw wafat, dan mereka yg meriwayatkan bahwa Qunut Nabi saw hanya sebulan kemudian berhenti maka yang dimaksud adalah Qunut setiap shalat untuk mendoakan kehancuran atas musuh musuh, lalu (setelah sebulan) beliau saw berhenti, namun Qunut di shalat subuh terus berjalan hingga beliau saw wafat.

Hadits dari Awam Bin Hamzah dimana beliau berkata :
“Aku bertanya kepada Utsman –semoga Allah meridhoinya-  tentang qunut pada Subuh. Beliau berkata : Qunut itu sesudah ruku. Aku bertanya :” Fatwa siapa?”, Beliau menjawab : “Fatwa Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu ‘anhum”.
Hadits ini riwayat imam Baihaqi dan beliau berkata : “Isnadnya Hasan”. Dan Baihaqi juga meriwayatkan hadits ini dari Umar Ra. Dari beberapa jalan.

Hadits dari Barra’ Ra. :
 “Bahwa Rasulullah Saw. melakukan qunut pada shalat subuh”. (HR. Muslim).
Hadits diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dengan tanpa penyebutan shalat maghrib.
Imam Nawawi dalam Majmu’ II/505 mengatakan : “Tidaklah mengapa meninggalkan qunut pada shalat maghrib karena qunut bukanlah sesuatu yang wajib atau karena ijma ulama menunjukan bahwa qunut pada shalat maghrib sudah mansukh hukumnya”.

Hadits dari Abi rofi’ :
“Umar melakukan qunut pada shalat subuh sesudah ruku’ dan mengangkat kedua tangannya  serta membaca doa dengn bersuara”. (HR Baihaqi dan ia mengatakan hadis ini shahih).

Hadits dari ibnu sirin, beliau berkata :
“Aku berkata kepada anas : Apakah Rasulullah SAW. melakukan qunut pada waktu shalat subuh? Anas menjawab : Ya, begitu selesai ruku’”. (HR. Bukhary Muslim).

Hadits dari Abu hurairah ra. Beliau berkata :
“Rasulullah Saw. jika beliau mengangkat kepalanya dari ruku pada rekaat kedua shalat subuh beliau mengangkat kedua tangannya lalu berdoa : “Allahummah dini fii man hadait ….dan seterusnya”. (HR. Hakim dan dia menshahihkannya).

Hadits dari  Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. Beliau berkata :
“Aku diajari oleh rasulullah Saw. beberapa kalimat yang aku ucapkan pada witir yakni :  Allahummah dini fii man hadait ….dan seterusnya” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan selain mereka dengan isnad yang shahih)

Hadits  dari Ibnu Ali bin  Thalib ra. (Berkaitan dengan hadist no. 9 )
Imam Baihaqi meriwayatkan dari Muhammad bin Hanafiah dan beliau adalah Ibnu Ali bin  Thalib ra. Beliau berkata: “Sesungguhnya doa ini adalah yang dipakai oleh bapakku pada waktu qunut diwaktu shalat subuh(Al-baihaqi II/209).

Hadist  dari Ibnu Abbas ra. :
Tentang doa qunut subuh ini, Imam baihaqi juga meriwayatkan dari beberapa jalan yakni ibnu abbas dan selainnya:
“Bahwasanya Nabi Saw. mengajarkan doa ini (Allahummah dini fii man hadait ….dan seterusnya) kepada para shahabat agar mereka berdoa dengannya pada waktu qunut di shalat subuh” (Al-baihaqi II/209).

B.       DASAR YANG TIDAK MELAKUKAN QUNUT SUBUH
Hadist dari al-Bihaqi :
“Artinya : Aku pernah shalat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau qunut di belakang ‘Umar dan di belakang ‘Utsman, mereka semuanya qunut.
Imam Ibnu Turkamani berkata tentang hadits ini: “Kita harus lihat kepada seorang perawi Khulaid bin Da’laj, apakah ia bisa dipakai sebagai penguat hadits atau tidak?’
Karena Imam Ahmad bin Hambal, Ibnu Ma’in dan Daraquthni melemahkannya. Pernah sekali Ibnu Ma’in berkata: ‘Ia tidak ada apa-apanya (ia tidak bisa dipakai hujjah).’
Imam an-Nasa-i berkata: ‘Ia bukan orang yang bisa dipercaya. Dan di dalam Mizaanul I’tidal (I/663) disebut-kan bahwa Imam ad-Daraquthni memasukkannya dalam kelompok para perawi yang matruk.’”
Hadits lain yang dikatakan sebagai ‘syahid’ (penguat) ialah hadits:

مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتَّى مَاتَ.
أخرجه الخطيب في كتاب القنوت

“Artinya : Senantiasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut pada shalat Shubuh hingga beliau wafat.
Hadits ini telah diriwayatkan oleh Imam al-Khathib al-Baghdadi dalam Kitaab al-Qunut.
Al-Hafizh Abul Faraj Ibnul Jauzi telah mencela al-Khathib (al-Baghdadi), mengapa ia memasukkan hadits ini di dalam kitabnya al-Qunut padahal di dalamnya ada seorang perawi yang bernama Dinar bin ‘Abdillah.

Ibnu Hibban berkata: “Dinar bin ‘Abdillah banyak meriwayatkan Atsar yang maudhu’ (palsu) dengan meng-atasnamakan Anas, maka sudah sewajarnya hadits yang ia riwayatkan tidak halal untuk disebutkan (dimuat) di dalam berbagai kitab, kecuali bila ingin menerangkan cacatnya.”
Ibnu ‘Adiy berkata: “Ia (Dinar) dha’if dzahib (sangat lemah).”
Dari sini dapatlah kita ketahui bersama bahwa perkataan Imam an-Nawawi bahwa hadits Anas mempunyai penguat dari beberapa jalan yang shahih (?) yang diriwa-yatkan oleh al-Hakim, al-Baihaqi dan ad-Daraquthni, ada-lah perkataan yang tidak benar dan sangat keliru sekali, karena semua jalan yang disebutkan oleh Imam an-Nawawi ada cacat dan celanya, sebagaimana yang sudah diterang-kan di atas. Kelemahan hadits-hadits di atas bukanlah kelemahan yang ringan yang dengannya, hadits Anas bisa terangkat menjadi hasan lighairihi, tidaklah demikian. Akan tetapi kelemahan hadits-hadits di atas adalah ke-lemahan yang sangat menyangkut masalah ‘adalatur rawi (keadilan seorang perawi).

Hadits riwayat at-Tirmidzi :

Dari Abi Malik al-Asyja’i, ia berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya engkau pernah shalat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di bela-kang Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan di belakang ‘Ali di daerah Qufah sini kira-kira selama lima tahun, apakah qunut Shubuh terus-menerus?” Ia jawab: “Wahai anakku qunut Shubuh itu bid’ah!!

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany berkata: “Hadits-hadits Anas terjadi kegoncangan dan perselisihan, maka yang seperti ini tidak boleh dijadikan hujjah.
Bila dilihat dari segi matan-nya (isi hadits), maka matan hadits (kedua dan keempat) bertentangan dengan matan hadits-hadits Anas yang lain dan bertentangan pula dengan hadits-hadits shahih yang menerangkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut pada waktu ada nazilah (musibah).

Riwayat dari Anas yang membantah adanya qunut Shubuh terus-menerus:

قَالَ عَاصِمُ بْنُ سُلَيْمَانَ ِلأَنَسٍ: إِنَّ قَوْمًا يَزْعُمُوْنَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ بِالْفَجْرِ، فَقَالَ: كَذَّبُوْا، وَإِنَّمَا قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا وَاحِدًا يَدْعُوْ عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ.

"Artinya : Ashim bin Sulaiman berkata kepada Anas, “Sesungguh-nya orang-orang menyangka bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa qunut dalam shalat Shubuh.” Jawab Anas bin Malik: “Mereka dusta! Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut satu bulan mendo’akan kecelakaan atas satu qabilah dari qabilah-qabilah bangsa ‘Arab.”

Hadits ini telah diriwayatkan oleh al-Khathib al-Bagh-dadi sebagaimana yang dikatakan oleh al-‘Allamah Ibnul Qayyim dalam kitab Zaadul Ma’aad
Derajat hadits ini tidak sampai kepada shahih, karena dalam sanadnya ada Qais bin Rabi’, ia dilemahkan oleh Ibnu Ma’in dan ulama lainnya mengatakan ia tsiqah. Qais ini lebih tsiqah dari Abu Ja’far semestinya orang lebih condong memakai riwayat Qais ketimbang riwayat Abu Ja’far, dan lagi pula riwayat Qais ada penguatnya dari hadits-hadits yang sah dari Anas sendiri dan dari para Sahabat yang lainnya.

Dari Anas bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah qunut melainkan apabila beliau mendo’a-kan kecelakaan bagi kaum (kafir).

Telah menceritakan kepada kami Hatim bin Bakr Adl Dlabbi berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ya’la Zunbur berkata, telah menceritakan kepada kami ‘Anbasah bin ‘Abdurrahman dari Abdullah bin Nafi’ dari Bapaknya dari Ummu Salamah ia berkata, “Rasulullah s.a.w. melarang untuk melakukan qunut dalam shalat subuh. ” (H.R. Ibnu Majah)

Bid’ah menurut syari’at, yaitu: Mengadakan suatu ibadah yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan maksud bertaqarrub kepada Allah. Dan semua bid’ah adalah sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
 “Artinya : Tiap-tiap bid’ah adalah sesat dan tiap-tiap kesesatan tempatnya di Neraka.”

6.        PENDAPAT  MAZHAB 

Pendapat imam madzhab dalam masalah qunut adalah sebagai berikut.

Pertama: Ulama Malikiyyah
Mereka berpendapat bahwa tidak ada qunut kecuali pada shalat shubuh saja. Tidak ada qunut pada shalat witir dan shalat-shalat lainnya.

Kedua: Ulama Syafi’iyyah
Mereka berpendapat bahwa tidak ada qunut dalam shalat witir kecuali ketika separuh akhir dari bulan Ramadhan. Dan tidak ada qunut dalam shalat lima waktu yang lainnya selain pada shalat shubuh dalam setiap keadaan (baik kondisi kaum muslimin tertimpa musibah ataupun tidak, -pen). Qunut juga berlaku pada selain shubuh jika kaum muslimin tertimpa musibah (yaitu qunut nazilah).

Ketiga: Ulama Hanafiyyah
Disyariatkan qunut pada shalat witir. Tidak disyariatkan qunut pada shalat lainnya kecuali pada saat nawaazil yaitu kaum muslimin tertimpa musibah, namun qunut nawaazil ini hanya pada shalat shubuh saja dan yang membaca qunut adalah imam, lalu diaminkan oleh jama’ah dan tidak ada qunut jika shalatnya munfarid (sendirian).

Keempat: Ulama Hanabilah (Hambali)
Mereka berpendapat bahwa disyari’atkan qunut dalam witir. Tidak disyariatkan qunut pada shalat lainnya kecuali jika ada musibah yang besar selain musibah penyakit. Pada kondisi ini imam atau yang mewakilinya berqunut pada shalat lima waktu selain shalat Jum’at.
Sedangkan Imam Ahmad sendiri berpendapat, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan qunut witir sebelum atau sesudah ruku’.

Inilah pendapat para imam madzhab. Namun pendapat yang lebih kuat, tidak disyari’atkan qunut pada shalat fardhu kecuali pada saat nawazil (kaum muslimin tertimpa musibah). Adapun qunut witir tidak ada satu hadits shahih pun dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan beliau melakukan qunut witir. Jika seseorang melakukan qunut witir, maka itu baik. Jika meninggalkannya, juga baik.


PERENUNGAN
Sebagian besar ulama sepakat tentang adanya qunut nazilah, namun terdapat perselisihan pendapat tentang qunut pada shalat witir dan terutama pada shalat subuh. Hal ini terjadi karena adanya hadist yang bertentangan, Namun jika hadits-hadits  yang saling bertentangan  itu sama-sama shahih maka tidak bijak jika menguatkan salah satunya dan melemahkan yang lainnya. Maka sikap yang diambil adalah sebagai berikut :
1.     Menganggap salah satunya membatalkan / menghapuskan yang lainnya (nasikh mansukh). Tapi hal ini baru bisa dilakukan jika ditemui riwayat yang jelas mengenai mana yang nasikh dan mana yang mansukh berdasarkan dalil yang kuat pula. Hal ini misalnya jika dulu dibolehkan saat ini dilarang seperti kasus  nikah mut’ah , atau sebaliknya dulu dilarang sekarang dibolehkan seperti kasus ziarah kubur.
2. Mencari penjelasan mengenai penyebab terjadinya perbedaan / pertentangan antara satu hadits dengan hadits lainnya. Mungkin suatu ketika Rasulullah s.a.w. melakukan begini karena suatu alasan atau situasi tertentu dan di saat lain Rasulullah s.a.w. melakukan begitu karena suatu alasan atau situasi yang berbeda.
3.     Menjelaskan bahwa hal ini termasuk pilihan dalam lapangan fikih, dimana masalah teknis ibadah seringkali tersedia banyak pilihan boleh begini dan boleh begitu, karena dahulu Rasulullah s.a.w. kadang melakukan begini dan kadang begitu sebagai keluasan dan keluwesan Islam.
Jelas di sini bahwa dalam kasus masalah qunut terdapat riwayat hadits yang sama-sama kuat dan shahih bahwa Rasulullah s.a.w. pernah melaksanakan qunut pada waktu sholat witir di bulan ramadhan (dan juga ada hadits yang tidak menyebutkan apakah itu witir pada ramadhan atau bukan, sehingga boleh disimpulkan bahwa hal itu dilakukan pada sholat witir secara umum), pernah juga pada waktu sholat subuh, maghrib, isya dan bahkan pada seluruh sholat lima waktu (yaitu ketika ada musibah).
Jelas juga disebutkan bahwa qunut dibacakan ketika ada musibah dan bukan musibah. Qunut pada saat tertimpa musibah, kesulitan atau mendoakan keburukan pada musuh disebut qunut nazilah dan redaksi doanya  berbeda dengan doa qunut ketika witir atau tidak ada musibah atau mendoakan kebaikan umat.

 Adapun mengenai qunut shubuh secara lebih spesifik, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin menjelaskan dalam fatwa lainnya. Beliau pernah ditanya: “Apakah disyari’atkan do’a qunut witir (Allahummah diini fiiman hadayt …) dibaca pada raka’at terakhir shalat shubuh?”
Beliau rahimahullah menjelaskan: “Qunut shubuh dengan do’a selain do’a ini (selain do’a “Allahummah diini fiiman hadayt …”), maka di situ ada perselisihan di antara para ulama. Pendapat yang lebih tepat adalah tidak ada qunut dalam shalat shubuh kecuali jika di sana terdapat sebab yang berkaitan dengan kaum muslimin secara umum. Sebagaimana apabila kaum muslimin tertimpa musibah -selain musibah wabah penyakit-, maka pada saat ini mereka membaca qunut pada setiap shalat fardhu. Tujuannya agar dengan do’a qunut tersebut, Allah membebaskan musibah yang ada.”

Apakah perlu mengangkat tangan dan mengaminkan ketika imam membaca qunut shubuh?
Dalam lanjutan perkataannya di atas, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan:
“Oleh karena itu, seandainya imam membaca qunut shubuh, maka makmum hendaklah mengikuti imam dalam qunut tersebut. Lalu makmum hendaknya mengamininya sebagaimana Imam Ahmad rahimahullah memiliki perkataan dalam masalah ini. Hal ini dilakukan untuk menyatukan kaum muslimin.
Adapun jika timbul permusuhan dan kebencian dalam perselisihan semacam ini padahal di sini masih ada ruang berijtihad bagi umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ini selayaknya tidaklah terjadi. Bahkan wajib bagi kaum muslimin –khususnya para penuntut ilmu syar’i- untuk berlapang dada dalam masalah yang masih boleh ada perselisihan antara satu dan lainnya. ”
Dalam penjelasan lainnya, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Yang lebih tepat makmum hendaknya mengaminkan do’a (qunut) imam. Makmum mengangkat tangan mengikuti imam karena ditakutkan akan terjadi perselisihan antara satu dan lainnya. Imam Ahmad memiliki pendapat bahwa apabila seseorang bermakmum di belakang imam yang membaca qunut shubuh, maka hendaklah dia mengikuti dan mengamini do’anya. Padahal Imam Ahmad berpendapat tidak disyari’atkannya qunut shubuh sebagaimana yang sudah diketahui dari pendapat beliau. Akan tetapi, Imam Ahmad rahimahullah memberikan keringanan dalam hal ini yaitu mengamini dan mengangkat tangan ketika imam melakukan qunut shubuh. Hal ini dilakukan karena khawatir terjadinya perselisihan yang dapat menyebabkan renggangnya hati (antar sesama muslim).”

Jadi masing-masing ada dalilnya baik yang membaca qunut di moment tertentu saja, selama beberapa hari saja, satu bulan saja, atau seterusnya, hal ini tidak menjadi masalah.

Jangan sampai karena terjadi perbedaan pendapat dalam fiqih membuat islam saling berkelompok-kelompok  yang saling melemahkan sehingga islam menjadi terpecah dan lemah…  kita boleh berbeda pendapat dan fiqih tetapi kita harus saling menguatkan, menjaga ukhuwah islamiah karena semua muslim itu bersaudara… sehingga ke depannya islam akan menjadi semakin kuat dan islam dapat berjaya lagi seperti dahulu.