Maha
Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad
shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami Al
Qur’an tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga Allah subhanahu
wata’ala mencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat
membuka mata hati kita untuk senantiasa menerima kebenaran hakiki.
Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.
Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.
Termasuk perkara penting yang sering menjadi perdebatan sengit bahkan terkadang menyebabkan putusnya hubungan yaitu berkumpulnya keluarga orang yang meninggal di suatu tempat untuk
menyambut orang‐orang yang datang untuk melayat jenazahnya, dan telah menjadi tradisi kalau keluarga dari orang yang telah meninggal dunia berkumpul dalam satu tempat (di rumah duka), demi memudahkan para pelayat daripada harus mengunjungi satu persatu dari keluarga orang yang telah meninggal tersebut di tempat – tempat yang berbeda terutama jika ia tidak sempat mengantarkan jenazahnya. kadang2 makanan yang disediakan seperti pada pesta kecil-kecilan.
menyambut orang‐orang yang datang untuk melayat jenazahnya, dan telah menjadi tradisi kalau keluarga dari orang yang telah meninggal dunia berkumpul dalam satu tempat (di rumah duka), demi memudahkan para pelayat daripada harus mengunjungi satu persatu dari keluarga orang yang telah meninggal tersebut di tempat – tempat yang berbeda terutama jika ia tidak sempat mengantarkan jenazahnya. kadang2 makanan yang disediakan seperti pada pesta kecil-kecilan.
Sebenarnya
acara tahlilan telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat
Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan
kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti
inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar
beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Hal ini jelas kita temui pada Firman Allah pada Surah An Nisaa’: 59 (artinya) : “Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian
dan lebih baik akibatnya.”
Untuk itu perlu kita melihat dasar-dasar pemikiran dan dalil-dalil yang diambil oleh kalangan yang pro maupun yang kontra tentang Tahlilan ini.
Kalangan yang Mendukung Tahlilan
Madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah mempergunakan Ijma’ dan Qiyas kalau tidak mendapatkan dalil nash yang shahih (jelas) dari Al‐Qur’an dan As‐Sunnah. Kita tidak dapat menghalalkan sesuatu atau mengharamkan sesuatu, kecuali dengan dalil‐dalil yang jelas berdasarkan ke 4 sumber hukum di atas. Janganlah kita mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah SWT dan Rasul‐Nya, dan jangan pula menghalalkan apa yang diharamkan Allah SWT dan Rasul‐Nya. Di dalam Ilmu Fiqih apabila kita melihat suatu perbuatan di tengah‐tengah masyarakat, kita tidak bisa dengan secepat mungkin berkata halal atau haram. Kita sebaiknya mengikuti dan mengambil pelajaran dari kisah sahabat Mu’adz r.a. ketika beliau di utus oleh Rasulullah saw ke negeri Yaman.
“Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda bagaimana engkau menentukan apabila tampak kepadamu suatu ketentuan? Mu’adz menjawab; saya akan menentukan hukum dengan kitab Allah? kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah s.aw. kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak kembali; Mu’adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya, kemudian Mu’adz berkata; Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai‐Nya."
“Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda bagaimana engkau menentukan apabila tampak kepadamu suatu ketentuan? Mu’adz menjawab; saya akan menentukan hukum dengan kitab Allah? kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah s.aw. kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak kembali; Mu’adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya, kemudian Mu’adz berkata; Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai‐Nya."
Langkah yang di ambil dari sahabat Mu’adz r.a. di atas dapat kita jadikan pedoman dalam mengambil suatu langkah‐langkah hukum agama apabila kita melihat dan mendapati amalan baru‐baru yang berkembang di masyarakat.
Pengiriman hadiah pahala bagi mayit ini sunnah secara syariat sebagaimana Rasulullah SAW. mencontohkan dan membolehkannya, ketika salah seorang yang menemui Rasulullah SAW dan bertanya tentang suatu hal sebagaimana teriwayat dalam hadist berikut:
- “ Dari Abu Dzar radliallahu 'anhu, dari Nabi shalla Allahu alaihi wa sallam, sesungguhnya beliau bersabda: "Bahwasanya pada setiap tulang sendi kalian ada sedekah. Setiap bacaan tasbih itu adalah sedekah, setiap bacaan tahmid itu adalah sedekah, setiap bacaan TAHLIL itu adalah sedekah, setiap bacaan takbir itu adalah sedekah, dan amar ma’ruf nahi munkar itu adalah sedekah, dan mencukupi semua itu dua rakaat yang dilakukan seseorang dari sholat Dluha.” (Hadits riwayat: Muslim).
- Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada nabi saw seraya berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?”, Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits no.1004).
- Seorang laki‐laki bertanya kepada Rasulullah SAW, “Ayahku meninggal dunia, dan ia meninggalkan harta serta tidak memberi wasiat. Apakah dapat menghapus dosanya bila saya sedekahkan?” Ujar Nabi SAW, “Dapat!” [HR. Ahmad, Muslim dari Abu Hurairah]
Banyak hadist hadist dari Rasulullah saw. dan riwayat sahabat r.a. yang nyata dan kuat membolehkan mengirim pahala bagi mayit khususnya lewat bacaan Al‐Qur’an, doa dan sedeqah adalah dari hadist‐hadist berikut ini :
- Abu Muhammad As Samarkandy, Ar Rafi’iy dan Ad Darquthniy, masing‐masing menunjuk sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib k.w. bahwa Rasul saw bersabda: “Barangsiapa lewat melalui kuburan, kemudian ia membaca “Qul Huwallahu Ahad” sebelas kali dengan niat menghadiahkan pahalanya pada para penghuni kubur, ia sendiri akan memperoleh sebanyak yang diperoleh semua penghuni kubur”.
- Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwasanya Nabi Muhammad saw bersabda: “Barangsiapa yang berziarah di kuburan, kemudian ia membaca ‘Al Fatihah’, ‘Qul Huwallahu Ahad’ dan ‘Alhakumut takatsur’, lalu ia berdoa Ya Allah, kuhadiahkan pahala pembacaan firmanMu pada kaum Mu’minin dan Mu’minat penghuni kubur ini, maka mereka akan menjadi penolong baginya(pemberi syafaat) pada hari kiamat”.
- Diriwayatkan oleh Daruquthni bahwa seorang laki‐laki bertanya, “Ya Rasulullah SAW, saya mempunyai ibu bapak yang selagi mereka hidup, saya berbakti kepadanya. Maka bagaimana caranya saya berbakti kepada mereka, setelah mereka meninggal dunia?” Ujar Nabi SAW, “Berbakti setelah mereka meninggal, caranya ialah dengan melakukan shalat untuk mereka disamping shalatmu, dan berpuasa untuk mereka disamping puasamu!”
- Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, seraya berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami bersedekah untuk keluarga kami yang sudah mati, kami melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa bagi mereka; apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai kepada mereka? Rasulullah saw bersabda: Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu benar‐benar akan sampai kepada mereka dan sesungguhnya mereka itu benar‐benar bergembira dengan kiriman pahala tersebut, sebagaimana salah seorang dari kamu sekalian bergembira dengan hadiah apabila hadiah tersebut dikirimkan kepadanya!ʺ
- “Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik, ia berkata; Nabi SAW telah menunaikan shalat jenazah, aku mendengar Nabi SAW berdoa; Ya Allah!! ampunilah dia, rahmatilah dia, maafkan dia.”
- Dalam riwayat lainnya dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda: ”Apabila seorang mukmin membaca ayat Kursi dan menghadiahkan pahalanya kepada para penghuni kubur, maka Allah akan memasukkan empat puluh cahaya ke setiap kubur orang mukmin mulai dari ujung dunia bagian timur sampai barat, Allah akan melapangkan liang kubur mereka, memberi pahala enam puluh orang nabi kepada yang membaca, mengangkat satu derajat bagi setiap mayit, dan menuliskan sepuluh kebajikan bagi setiap mayit.”
- Al‐Baihaqiy di dalam Sya’bul‐Iman mengetengahkan sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Mi’qal bin Yassar r.a., dan dalam Al‐Jami’ush‐Shaghir dan Misykatul‐Mashabih bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa membaca Yasin semata‐mata demi keridhoan Allah, ia memperoleh ampunan atas dosa‐dosanya yang telah lalu. Karena itu hendaknya kalian membacakan Yasin bagi orang – orang yang telah meninggal dunia di antara kalian.”
- Diriwayatkan pula bahwa Siti Aisyah pernah beritikaf atas nama adiknya Abdurrahman bin Abu Bakar yang telah meninggal dunia. Bahkan Siti Aisyah juga memerdekakan budak atas namanya (adiknya). (Al Imam Qurthubi di dalam kitab At‐Tadzkirat Bi Ahwali al‐Mauta wa Umur al‐Akhirat.
Sedangkan mengenai tentang jamuan makanan / minuman ala kadarnya bagi tamu ketika tahlilan (para pelayat / pentakziyah) merupakan amalan mulia yang sangat dianjurkan untuk memuliakan mereka (tamu). Jamuan sederhana (ala kadarnya) ini bisa di kategorikan sebagai sedeqah dari keluarga (shohibul bait) yang mana pahala dari sedeqah ini bisa di hadiahkan kepada mayyit (yang meninggal) atau untuk dirinya sendiri (keluarga mayyit).
Memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang meninggal, hukumnya boleh (mubah), dan menurut mayoritas ulama bahwa memberi jamuan itu termasuk ibadah yang terpuji dan dianjurkan. Sebab, jika dilihat dari segi jamuannya termasuk sedekah yang dianjurkan oleh Islam yang pahalanya dihadiahkan pada orang telah meninggal. Dan lebih dari itu, ada tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu ikramud dla`if (menghormati tamu), dengan bersabar menghadapi musibah dan tidak menampakkan rasa susah dan gelisah kepada orang lain.
Mengenai makan dirumah duka, sungguh Rasul saw telah melakukannya, dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadziy :
“Riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki anshar, berkata : kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan.
“Riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki anshar, berkata : kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan.
Riwayat Abu Dawud dan Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah, demikian pula diriwayatkan dalam AL Misykaah, di Bab Mukjizat, dikatakan bahwa ketika beliau saw akan pulang maka datanglah utusan istri almarhum.. dan hal ini merupakan Nash yg jelas bahwa Rasulullah saw mendatangi undangan keluarga duka, dan berkumpul bersama sahabat beliau saw setelah penguburan dan makan”. (Tuhfatul Ahwadziy Juz 4 hal 67).
Imam Thawus berkata: Seorang yang mati akan beroleh ujian dari Allah dalam kuburnya selama 7 hari. Untuk itu, sebaiknya mereka (yang masih hidup) mengadakan jamuan makan (sedekah) untuknya selama hari‐hari tersebut. Sahabat Ubaid ibn Umair berkata: “Seorang mukmin dan seorang munafiq sama‐sama akan mengalami ujian dalam kubur. Bagi seorang mukmin akan beroleh ujian selam 7 hari, sedang seorang munafiq selama 40 hari di waktu pagi.” (Al Hawi lil Fatawa as Suyuti, Juz II hal 178)
Kalangan yang Menolak Tahlilan
- “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agamamu.” (QS. al-Ma‘idah [5]: 3). disini Allah mengatakan bahwa Agama Islam telah sempurna.
- Segala bentuk bid’ah dalam Ad-Dien hukum ialah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Arti : Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yg baru, krn sesungguh mengadakan hal yg baru ialah bid’ah, dan setiap bid’ah ialah sesat”. [Hadits Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].
- Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,“Arti : Barangsiapa mengadakan hal yg baru yg bukan dari kami maka peruntukan tertolak”.
- Hadis riwayat Muslim : “Jika manusia meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga : “sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang selalu mendoakan orang tuanya”. Mereka berkata : “Kata-kata “terputuslah amalnya” menunjukkan bahwa amal-amal apapun kecuali yang tiga itu tidak akan sampai pahalanya kepada mayit.
- Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya seseorang itu tidak akan menanggung dosa seseorang yang lain dan bahwasanya manusia tidak akan memperolehi ganjaran melainkan apa yang telah ia kerjakan.” (An-Najm: 38-39). Berkata Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rohimahulloh: “Melalui ayat yang mulia ini, Imam Syafi’i rohimahulloh dan para pengikutnya menetapkan bahwa pahala bacaan (Al-Qur’an) dan hadiah pahala tidak sampai kepada orang yang mati, karena bacaan tersebut bukan dari amal mereka dan bukan usaha mereka. Oleh karena itu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan umatnya, mendesak mereka untuk melakukan perkara tersebut dan tidak pula menunjuk hal tersebut (menghadiahkan bacaan kepada orang yang mati) walaupun hanya dengan sebuah dalil pun.”
Islam telah menunjukkan hal yang dapat dilakukan oleh mereka yang telah
ditinggal mati oleh teman, kerabat atau keluarganya yaitu dengan
mendo’akannya agar segala dosa mereka diampuni dan ditempatkan di surga
Alloh subhanahu wa ta’ala. Sedangkan jika yang meninggal adalah orang
tua, maka termasuk amal yang tidak terputus dari orang tua adalah do’a
anak yang sholih karena anak termasuk hasil usaha seseorang semasa di
dunia.
Ayat
dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam
telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu
ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan
oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Memang secara sepintas pula,
penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan
dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan
tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan
tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja
tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan
perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Jarir
bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di
rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan
bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)
Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)
Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami.
Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:
اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ
Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)
Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami.
Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:
اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ
“Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far,
Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu
Dawud, At Tirmidzi dan lainnya).
Sekali lagi, bukan pihak yang sedang berduka yang harus menyajikan makanan untuk para pelawat .
Sekali lagi, bukan pihak yang sedang berduka yang harus menyajikan makanan untuk para pelawat .
?????????
- Ulama sepakat bahwa amal jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang soleh, pahalanya akan tetap mengalir kepada si mayit.
- Ulama menyepakati doa akan sampai kepada mayit, sedangkan masalah bacaan Al-Qur'an, tahmid, tahlil yang dilakukan orang lain kepada si mayit ulama masih berbeda pendapat. Tidakkah lebih baik apabila anak sendiri yang memberikan sedekah tahmid, tahlil kepada orang tua dan baru beramai2 berdoa untuk si mayit??
- Penyediaan makanan dan minuman bagi para penta’ziyah atau para hadirin haruslah disiapkan oleh para tetangga atau keluarga jauh dari si mayit tanpa membebankan keluarga dekat si mayit. Dalam penyediaan ini juga harus dihindari kemubadziran dalam penyediaannya.
- Adapun berkumpulnya masyarakat di rumah keluarga si mayit bisa dikategorikan kedalam bentuk ta’ziyah namun hendaknya ta’ziyah tidak dilakukan terlalu sering karena akan menambah kesedihan mereka, cukup dilakukan satu kali saja. Acara ini tidak mesti terpaku dengan hari-hari tertentu yang selama ini terjadi di masyarakat serta harus menghindari hal-hal yang dilarang oleh agama.
- tentang penyediaan makanan oleh anak (keluarga) yang dikatakan sedekah yang juga masih jadi bahan perdebatan ulama, tidakkah lebih baik lagi jika uang tersebut untuk penyediaan makanan tersebut disedekahkan kepada Anak Yatim, orang miskin atas si mayit maupun hal lain untuk amal jariyah si mayit???