Maha
Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad
shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami Al
Qur’an tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga Allah subhanahu
wata’ala mencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat
membuka mata hati kita untuk senantiasa menerima kebenaran hakiki.
Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.
Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.
Termasuk perkara penting yang sering menjadi perdebatan sengit bahkan terkadang menyebabkan putusnya hubungan yaitu berkumpulnya keluarga orang yang meninggal di suatu tempat untuk
menyambut orang‐orang yang datang untuk melayat jenazahnya, dan telah menjadi tradisi kalau keluarga dari orang yang telah meninggal dunia berkumpul dalam satu tempat (di rumah duka), demi memudahkan para pelayat daripada harus mengunjungi satu persatu dari keluarga orang yang telah meninggal tersebut di tempat – tempat yang berbeda terutama jika ia tidak sempat mengantarkan jenazahnya. kadang2 makanan yang disediakan seperti pada pesta kecil-kecilan.
menyambut orang‐orang yang datang untuk melayat jenazahnya, dan telah menjadi tradisi kalau keluarga dari orang yang telah meninggal dunia berkumpul dalam satu tempat (di rumah duka), demi memudahkan para pelayat daripada harus mengunjungi satu persatu dari keluarga orang yang telah meninggal tersebut di tempat – tempat yang berbeda terutama jika ia tidak sempat mengantarkan jenazahnya. kadang2 makanan yang disediakan seperti pada pesta kecil-kecilan.
Sebenarnya
acara tahlilan telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat
Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan
kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti
inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar
beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Hal ini jelas kita temui pada Firman Allah pada Surah An Nisaa’: 59 (artinya) : “Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian
dan lebih baik akibatnya.”
Untuk itu perlu kita melihat dasar-dasar pemikiran dan dalil-dalil yang diambil oleh kalangan yang pro maupun yang kontra tentang Tahlilan ini.
Kalangan yang Mendukung Tahlilan
Madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah mempergunakan Ijma’ dan Qiyas kalau tidak mendapatkan dalil nash yang shahih (jelas) dari Al‐Qur’an dan As‐Sunnah. Kita tidak dapat menghalalkan sesuatu atau mengharamkan sesuatu, kecuali dengan dalil‐dalil yang jelas berdasarkan ke 4 sumber hukum di atas. Janganlah kita mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah SWT dan Rasul‐Nya, dan jangan pula menghalalkan apa yang diharamkan Allah SWT dan Rasul‐Nya. Di dalam Ilmu Fiqih apabila kita melihat suatu perbuatan di tengah‐tengah masyarakat, kita tidak bisa dengan secepat mungkin berkata halal atau haram. Kita sebaiknya mengikuti dan mengambil pelajaran dari kisah sahabat Mu’adz r.a. ketika beliau di utus oleh Rasulullah saw ke negeri Yaman.
“Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda bagaimana engkau menentukan apabila tampak kepadamu suatu ketentuan? Mu’adz menjawab; saya akan menentukan hukum dengan kitab Allah? kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah s.aw. kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak kembali; Mu’adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya, kemudian Mu’adz berkata; Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai‐Nya."
“Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda bagaimana engkau menentukan apabila tampak kepadamu suatu ketentuan? Mu’adz menjawab; saya akan menentukan hukum dengan kitab Allah? kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah s.aw. kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak kembali; Mu’adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya, kemudian Mu’adz berkata; Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai‐Nya."
Langkah yang di ambil dari sahabat Mu’adz r.a. di atas dapat kita jadikan pedoman dalam mengambil suatu langkah‐langkah hukum agama apabila kita melihat dan mendapati amalan baru‐baru yang berkembang di masyarakat.
Pengiriman hadiah pahala bagi mayit ini sunnah secara syariat sebagaimana Rasulullah SAW. mencontohkan dan membolehkannya, ketika salah seorang yang menemui Rasulullah SAW dan bertanya tentang suatu hal sebagaimana teriwayat dalam hadist berikut:
- “ Dari Abu Dzar radliallahu 'anhu, dari Nabi shalla Allahu alaihi wa sallam, sesungguhnya beliau bersabda: "Bahwasanya pada setiap tulang sendi kalian ada sedekah. Setiap bacaan tasbih itu adalah sedekah, setiap bacaan tahmid itu adalah sedekah, setiap bacaan TAHLIL itu adalah sedekah, setiap bacaan takbir itu adalah sedekah, dan amar ma’ruf nahi munkar itu adalah sedekah, dan mencukupi semua itu dua rakaat yang dilakukan seseorang dari sholat Dluha.” (Hadits riwayat: Muslim).
- Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada nabi saw seraya berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?”, Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits no.1004).
- Seorang laki‐laki bertanya kepada Rasulullah SAW, “Ayahku meninggal dunia, dan ia meninggalkan harta serta tidak memberi wasiat. Apakah dapat menghapus dosanya bila saya sedekahkan?” Ujar Nabi SAW, “Dapat!” [HR. Ahmad, Muslim dari Abu Hurairah]
Banyak hadist hadist dari Rasulullah saw. dan riwayat sahabat r.a. yang nyata dan kuat membolehkan mengirim pahala bagi mayit khususnya lewat bacaan Al‐Qur’an, doa dan sedeqah adalah dari hadist‐hadist berikut ini :
- Abu Muhammad As Samarkandy, Ar Rafi’iy dan Ad Darquthniy, masing‐masing menunjuk sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib k.w. bahwa Rasul saw bersabda: “Barangsiapa lewat melalui kuburan, kemudian ia membaca “Qul Huwallahu Ahad” sebelas kali dengan niat menghadiahkan pahalanya pada para penghuni kubur, ia sendiri akan memperoleh sebanyak yang diperoleh semua penghuni kubur”.
- Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwasanya Nabi Muhammad saw bersabda: “Barangsiapa yang berziarah di kuburan, kemudian ia membaca ‘Al Fatihah’, ‘Qul Huwallahu Ahad’ dan ‘Alhakumut takatsur’, lalu ia berdoa Ya Allah, kuhadiahkan pahala pembacaan firmanMu pada kaum Mu’minin dan Mu’minat penghuni kubur ini, maka mereka akan menjadi penolong baginya(pemberi syafaat) pada hari kiamat”.
- Diriwayatkan oleh Daruquthni bahwa seorang laki‐laki bertanya, “Ya Rasulullah SAW, saya mempunyai ibu bapak yang selagi mereka hidup, saya berbakti kepadanya. Maka bagaimana caranya saya berbakti kepada mereka, setelah mereka meninggal dunia?” Ujar Nabi SAW, “Berbakti setelah mereka meninggal, caranya ialah dengan melakukan shalat untuk mereka disamping shalatmu, dan berpuasa untuk mereka disamping puasamu!”
- Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, seraya berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami bersedekah untuk keluarga kami yang sudah mati, kami melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa bagi mereka; apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai kepada mereka? Rasulullah saw bersabda: Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu benar‐benar akan sampai kepada mereka dan sesungguhnya mereka itu benar‐benar bergembira dengan kiriman pahala tersebut, sebagaimana salah seorang dari kamu sekalian bergembira dengan hadiah apabila hadiah tersebut dikirimkan kepadanya!ʺ
- “Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik, ia berkata; Nabi SAW telah menunaikan shalat jenazah, aku mendengar Nabi SAW berdoa; Ya Allah!! ampunilah dia, rahmatilah dia, maafkan dia.”
- Dalam riwayat lainnya dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda: ”Apabila seorang mukmin membaca ayat Kursi dan menghadiahkan pahalanya kepada para penghuni kubur, maka Allah akan memasukkan empat puluh cahaya ke setiap kubur orang mukmin mulai dari ujung dunia bagian timur sampai barat, Allah akan melapangkan liang kubur mereka, memberi pahala enam puluh orang nabi kepada yang membaca, mengangkat satu derajat bagi setiap mayit, dan menuliskan sepuluh kebajikan bagi setiap mayit.”
- Al‐Baihaqiy di dalam Sya’bul‐Iman mengetengahkan sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Mi’qal bin Yassar r.a., dan dalam Al‐Jami’ush‐Shaghir dan Misykatul‐Mashabih bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa membaca Yasin semata‐mata demi keridhoan Allah, ia memperoleh ampunan atas dosa‐dosanya yang telah lalu. Karena itu hendaknya kalian membacakan Yasin bagi orang – orang yang telah meninggal dunia di antara kalian.”
- Diriwayatkan pula bahwa Siti Aisyah pernah beritikaf atas nama adiknya Abdurrahman bin Abu Bakar yang telah meninggal dunia. Bahkan Siti Aisyah juga memerdekakan budak atas namanya (adiknya). (Al Imam Qurthubi di dalam kitab At‐Tadzkirat Bi Ahwali al‐Mauta wa Umur al‐Akhirat.
Sedangkan mengenai tentang jamuan makanan / minuman ala kadarnya bagi tamu ketika tahlilan (para pelayat / pentakziyah) merupakan amalan mulia yang sangat dianjurkan untuk memuliakan mereka (tamu). Jamuan sederhana (ala kadarnya) ini bisa di kategorikan sebagai sedeqah dari keluarga (shohibul bait) yang mana pahala dari sedeqah ini bisa di hadiahkan kepada mayyit (yang meninggal) atau untuk dirinya sendiri (keluarga mayyit).
Memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang meninggal, hukumnya boleh (mubah), dan menurut mayoritas ulama bahwa memberi jamuan itu termasuk ibadah yang terpuji dan dianjurkan. Sebab, jika dilihat dari segi jamuannya termasuk sedekah yang dianjurkan oleh Islam yang pahalanya dihadiahkan pada orang telah meninggal. Dan lebih dari itu, ada tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu ikramud dla`if (menghormati tamu), dengan bersabar menghadapi musibah dan tidak menampakkan rasa susah dan gelisah kepada orang lain.
Mengenai makan dirumah duka, sungguh Rasul saw telah melakukannya, dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadziy :
“Riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki anshar, berkata : kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan.
“Riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki anshar, berkata : kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan.
Riwayat Abu Dawud dan Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah, demikian pula diriwayatkan dalam AL Misykaah, di Bab Mukjizat, dikatakan bahwa ketika beliau saw akan pulang maka datanglah utusan istri almarhum.. dan hal ini merupakan Nash yg jelas bahwa Rasulullah saw mendatangi undangan keluarga duka, dan berkumpul bersama sahabat beliau saw setelah penguburan dan makan”. (Tuhfatul Ahwadziy Juz 4 hal 67).
Imam Thawus berkata: Seorang yang mati akan beroleh ujian dari Allah dalam kuburnya selama 7 hari. Untuk itu, sebaiknya mereka (yang masih hidup) mengadakan jamuan makan (sedekah) untuknya selama hari‐hari tersebut. Sahabat Ubaid ibn Umair berkata: “Seorang mukmin dan seorang munafiq sama‐sama akan mengalami ujian dalam kubur. Bagi seorang mukmin akan beroleh ujian selam 7 hari, sedang seorang munafiq selama 40 hari di waktu pagi.” (Al Hawi lil Fatawa as Suyuti, Juz II hal 178)
Kalangan yang Menolak Tahlilan
- “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agamamu.” (QS. al-Ma‘idah [5]: 3). disini Allah mengatakan bahwa Agama Islam telah sempurna.
- Segala bentuk bid’ah dalam Ad-Dien hukum ialah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Arti : Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yg baru, krn sesungguh mengadakan hal yg baru ialah bid’ah, dan setiap bid’ah ialah sesat”. [Hadits Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].
- Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,“Arti : Barangsiapa mengadakan hal yg baru yg bukan dari kami maka peruntukan tertolak”.
- Hadis riwayat Muslim : “Jika manusia meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga : “sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang selalu mendoakan orang tuanya”. Mereka berkata : “Kata-kata “terputuslah amalnya” menunjukkan bahwa amal-amal apapun kecuali yang tiga itu tidak akan sampai pahalanya kepada mayit.
- Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya seseorang itu tidak akan menanggung dosa seseorang yang lain dan bahwasanya manusia tidak akan memperolehi ganjaran melainkan apa yang telah ia kerjakan.” (An-Najm: 38-39). Berkata Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rohimahulloh: “Melalui ayat yang mulia ini, Imam Syafi’i rohimahulloh dan para pengikutnya menetapkan bahwa pahala bacaan (Al-Qur’an) dan hadiah pahala tidak sampai kepada orang yang mati, karena bacaan tersebut bukan dari amal mereka dan bukan usaha mereka. Oleh karena itu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan umatnya, mendesak mereka untuk melakukan perkara tersebut dan tidak pula menunjuk hal tersebut (menghadiahkan bacaan kepada orang yang mati) walaupun hanya dengan sebuah dalil pun.”
Islam telah menunjukkan hal yang dapat dilakukan oleh mereka yang telah
ditinggal mati oleh teman, kerabat atau keluarganya yaitu dengan
mendo’akannya agar segala dosa mereka diampuni dan ditempatkan di surga
Alloh subhanahu wa ta’ala. Sedangkan jika yang meninggal adalah orang
tua, maka termasuk amal yang tidak terputus dari orang tua adalah do’a
anak yang sholih karena anak termasuk hasil usaha seseorang semasa di
dunia.
Ayat
dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam
telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu
ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan
oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Memang secara sepintas pula,
penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan
dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan
tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan
tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja
tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan
perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Jarir
bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di
rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan
bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)
Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)
Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami.
Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:
اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ
Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)
Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami.
Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:
اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ
“Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far,
Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu
Dawud, At Tirmidzi dan lainnya).
Sekali lagi, bukan pihak yang sedang berduka yang harus menyajikan makanan untuk para pelawat .
Sekali lagi, bukan pihak yang sedang berduka yang harus menyajikan makanan untuk para pelawat .
?????????
- Ulama sepakat bahwa amal jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang soleh, pahalanya akan tetap mengalir kepada si mayit.
- Ulama menyepakati doa akan sampai kepada mayit, sedangkan masalah bacaan Al-Qur'an, tahmid, tahlil yang dilakukan orang lain kepada si mayit ulama masih berbeda pendapat. Tidakkah lebih baik apabila anak sendiri yang memberikan sedekah tahmid, tahlil kepada orang tua dan baru beramai2 berdoa untuk si mayit??
- Penyediaan makanan dan minuman bagi para penta’ziyah atau para hadirin haruslah disiapkan oleh para tetangga atau keluarga jauh dari si mayit tanpa membebankan keluarga dekat si mayit. Dalam penyediaan ini juga harus dihindari kemubadziran dalam penyediaannya.
- Adapun berkumpulnya masyarakat di rumah keluarga si mayit bisa dikategorikan kedalam bentuk ta’ziyah namun hendaknya ta’ziyah tidak dilakukan terlalu sering karena akan menambah kesedihan mereka, cukup dilakukan satu kali saja. Acara ini tidak mesti terpaku dengan hari-hari tertentu yang selama ini terjadi di masyarakat serta harus menghindari hal-hal yang dilarang oleh agama.
- tentang penyediaan makanan oleh anak (keluarga) yang dikatakan sedekah yang juga masih jadi bahan perdebatan ulama, tidakkah lebih baik lagi jika uang tersebut untuk penyediaan makanan tersebut disedekahkan kepada Anak Yatim, orang miskin atas si mayit maupun hal lain untuk amal jariyah si mayit???
:D
BalasHapusNabi memiliki beberapa anak, yang anak laki2 semua
BalasHapusmeninggal sewaktu masih kecil. Anak-anak perempuan
beliau ada 4 termasuk Fatimah, hidup sampai
dewasa.
Ketika Nabi masih hidup, putra-putri beliau yg
meninggal tidak satupun di TAHLIL i, kl di do'akan
sudah pasti, karena mendo'akan orang tua,
mendo'akan anak, mendo'akan sesama muslim amalan
yg sangat mulia.
Ketika NABI wafat, tdk satu sahabatpun yg TAHLILAN
untuk NABI,
padahal ABU BAKAR adalah mertua NABI,
UMAR bin KHOTOB mertua NABI,
UTSMAN bin AFFAN menantu NABI 2 kali malahan,
ALI bin ABI THOLIB menantu NABI.
Apakah para sahabat BODOH....,
Apakah para sahabat menganggap NABI hewan....
(menurut kalimat sdr sebelah)
Apakah Utsman menantu yg durhaka.., mertua
meninggal gk di TAHLIL kan...
Apakah Ali bin Abi Tholib durhaka.., mertua
meninggal gk di TAHLIL kan....
Apakah mereka LUPA ada amalan yg sangat baik,
yaitu TAHLIL an koq NABI wafat tdk di TAHLIL i..
Semua Sahabat Nabi SAW yg jumlahnya RIBUAN,
Tabi'in dan Tabiut Tabi'in yg jumlahnya jauh lebih
banyak, ketika meninggal, tdk ada 1 pun yg
meninggal kemudian di TAHLIL kan.
cara mengurus jenazah sdh jelas caranya dalam
ISLAM, seperti yg di ajarkan dalam buku2 pelajaran
wajib dr SD - Perguruan tinggi. Termasuk juga tata
cara mendo'akan Orang tua yg meninggal dan tata
cara mendo'akan orang2 yg sdh meninggal dr kaum
muslimin.
Saudaraku semua..., sesama MUSLIM...
saya dulu suka TAHLIL an, tetapi sekarang tdk
pernah sy lakukan. Tetapi sy tdk pernah mengatakan
mereka yg tahlilan berati begini.. begitu dll.
Para tetangga awalnya kaget, beberapa dr mereka
berkata:" sak niki koq mboten nate ngrawuhi
TAHLILAN Gus.."
sy jawab dengan baik:"Kanjeng Nabi soho putro
putrinipun sedo nggih mboten di TAHLILI, tapi di
dongak ne, pas bar sholat, pas nganggur leyeh2,
lan sakben wedal sak saget e...? Jenengan Tahlilan
monggo..., sing penting ikhlas.., pun ngarep2
daharan e..."
mereka menjawab: "nggih Gus...".
sy pernah bincang-bincang dg kyai di kampung saya,
sy tanya, apa sebenarnya hukum TAHLIL an..?
Dia jawab Sunnah.., tdk wajib.
sy tanya lagi, apakah sdh pernah disampaikan
kepada msyarakat, bahwa TAHLILAN sunnah, tdk
wajib...??
dia jawab gk berani menyampaikan..., takut timbul
masalah...
setelah bincang2 lama, sy katakan.., Jenengan
tetap TAHLIl an silahkan, tp cobak saja
disampaikan hukum asli TAHLIL an..., sehingga
nanti kita di akhirat tdk dianggap menyembunyikan
ILMU, karena takut kehilangan anggota.., wibawa
dll.
Untuk para Kyai..., sy yg miskin ilmu ini,
berharap besar pada Jenengan semua...., TAHLIL an
silahkan kl menurut Jenengan itu baik, tp sholat
santri harus dinomor satukan..
sy sering kunjung2 ke MASJID yg ada pondoknya.
tentu sebagai musafir saja, rata2 sholat jama'ah
nya menyedihkan.
shaf nya gk rapat, antar jama'ah berjauhan, dan
Imam rata2 gk peduli.
selama sy kunjung2 ke Masjid2 yg ada pondoknya,
Imam datang langsung Takbir, gk peduli tentang
shaf...
Untuk saudara2 salafi..., jangan terlalu keras
dalam berpendapat...
dari kenyataan yg sy liat, saudara2 salfi memang
lebih konsisten.., terutama dalam sholat.., wabil
khusus sholat jama'ah...
tapi bukan berati kita meremehkan yg lain.., kita
do'akan saja yg baik...
siapa tau Alloh SWT memahamkan sudara2 kita kepada
sunnah shahihah dengan lantaran Do'a kita....
demikian uneg2 saya, mohon maaf kl ada yg tdk
berkenan...
semoga Alloh membawa Ummat Islam ini kembali ke
jaman kejayaan Islam di jaman Nabi..., jaman
Sahabat.., Tabi'in dan Tabi'ut Tabi'in
Amin ya Robbal Alamin
saya disini sependapat dengan anda, bagi saya hal-hal dalam ibadah yang sering diperselisihkan dimana tidak disinggung dengan jelas dalam Al-Qur'an dan Hadist maka saya jadi agak ragu terhadap hal tersebut (dimana sebelumnya hal tersebut saya lakukan).
Hapusdan perlu ditegaskan bahwa saya tidak berani mengatakan bahwa setiap hal baru adalah bid'ah disebabkan kurangnya pengetahuan saya (karena untuk menghukumi sesuatu merupakan hal yang sangat berat sepanjang pengetahuan saya)
Bukankah Rasullullah mengatakan untuk meninggalkan hal yang meragukan dan Rasulullah juga menegaskan bahwa lebih baik amalan yang sedikit tetapi benar daripada amalan banyak tetapi bid'ah. toh saya juga berpikir yang jelas-jelas Sunnah Rasulullah saja tidak bisa semua kita laksanakan, inikan lagi hal yang diragukan bahkan ada yang mengatakan hal tersebut tidak memiliki Nash atau Rujukan dari Al-Qu'an dan Hadist. jadi untuk kehati-hatian saya agak menjauhi hal tersebut.
Sangat disayangkan yang terjadi di daerah Indonesia : hal-hal yang jelas bertentangan dengan Syariat Islam malah masih/lebih dipertahankan dengan alasan untuk pelestarian budaya seperti : Sesajen, Pemandian barang-barang pusaka, pemakaian jimat, Bahkan hal-hal mistik seperti perdukunan dengan kedok agama masih marak diberitakan di Televisi.
Secara Pribadi saya juga lebih suka dengan prinsip Salafi karena kehati-hatian yang tinggi untuk tetap berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan Hadist, tetapi saya kurang setuju dengan cara dakwah yang terlalu keras, sering kita lihat betapa mudahnya mereka mengatakan sesat bahkan kafir terhadap muslim yang lain (Mudah2an itu hanya dilakukan oleh segelintir dari golongan salafi).
apakah mereka lupa bahwa Rasulullah melarang kita untuk mengkafirkan seseorang dan masalah surga dan neraka itu adalah hak Allah, kita masuk ke surga itu juga karena Rahmat Allah...
Saya agak lega saat bertemu dengan Salafi yang lain yang mengatakan bahwa seharusnya kita berdakwah harus dengan lemah lembut sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah beserta sahabatnya. masalah orang menerima atau tidak dari dakwah tersebut itu adalah masalah hidayah dan hidayah itu hanya dari Allah semata..
Semoga kita semua selalu mendapat Rahmat dan Hidayah dari Allah Azzawajalla.. Aaamiin..
saya setuuuju dengan anda
Hapustidak ada yang memimpin tahlilan saat NABI MUHAMMAD SAW wafat, alasannya karena NABI MUHAMMAD SAW adalah maksum dan beliau sudah dijamin dengan rahmat ALLAHU SWT masuk surga, :) , kalau saat RASULLLAH SAW wafat diadakan tahlilan itu artinya menganggap dan menuduh NABI tidak maksum, :) , tahlilan hanya berlaku bagi mereka yang tidak maksum dan tidak mendapat jaminan rahmat masuk SURGA, :) , karena RASULULLAH SAW adalah maksum maka tidak ada tahlilan untuk beliau karena tidak ada tahlilan maka tidak ada seorangpun yang memimpin tahlilan.
HapusPandangan Imam Syafii.
BalasHapusNah, bagaimana dengan pandangan imam Syafii sendiri –yang katanya- mayoritas ummat Islam di Indonesia bermadzab dengannya, apakah ia sepakat dengan kebanyakan kaum muslimin ini atau justru beliau sendiri yang melarang kegiatan tahlilan ini?
Didalam kitab al Umm (I/318), telah berkata imam Syafii berkaitan dengan hal ini;
“Aku benci al ma’tam, yaitu berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbahrui kesedihan.”
Jadi, imam Syafii sendiri tidak suka dengan kegiatan tahlilan yang dilakukan sebagaimana yang banyak dilakukan oleh ummat Islam sendiri.
Membaca Al Qur’an untuk orang mati (menurut Imam Syafi’i).
Dalam Al Qur’an, di surat An Najm ayat 38 dan 39 disebutkan disana;
[53.38] (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,
[53.39] dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.
Berkaitan dengan hal ini maka Al Hafidh Ibnu Katsir menafsirkannya sebagai berikut;
“Yaitu, sebagaimana seseorang tidak akan memikul dosa orang lain, demikian juga seseorang tidak akan memperoleh ganjaran/pahala kecuali apa-apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri.
Dan dari ayat yang mulia ini, al Imam Asy Syafii bersama para ulama yang mengikutinya telah mengeluarkan suatu hukum: Bahwa Al Qur’an tidak akan sampai hadiah pahalanya kepada orang yang telah mati.
Karena bacaan tersebut bukan dari amal dan usaha mereka. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tidak pernah mensyariatkan umatnya (untuk menghadiahkan bacaan Qur’an kepada orang yang telah mati) dan tidak juga pernah menggemarkannya atau memberikan petunjuk kepada mereka dengan baik dengan nash (dalil yang tegas dan terang) dan tidak juga dengan isyarat (sampai-sampai dalil isyarat pun tidak ada).
Dan tidak pernah dinukil dari seorang pun Sahabat (bahwa mereka pernah mengirim bacaan Al Qur’an kepada orang yang telah mati).
Kalau sekiranya perbuatan itu baik, tentu para Sahabat telah mendahului kita mengamalkannya.
Dan dalam masalah peribadatan hanya terbatas kepada dalil tidak bileh dipalingkan dengan bermacam qiyas dan ra’yu (pikiran).”
Jadi, dari keterangan ibnu Katsir ini jelas bahwa perbuatan membaca Al Qur’an dengan tujuan pahalanya disampaikan kepada si mayit tidak akan sampai, dan demikianlah pandangan ulama besar yang dianut oleh sebahagian besar kaum muslimin di negeri ini.
Lantas, mengapa mereka berbeda dengan imam mereka sendiri?
Wallahu a’lam.
Ternyata kegiatan tahlilan ini dari sejak jaman sahabat dianggap sebagai kegiatan meratap yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
BalasHapusDari Jabir bin Abdillah Al Bajaliy, ia berkata:”Kami (yakni para Sahabat semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut mazhab kami para Sahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (no 1612) dengan derajat yang shahih.
Dan an niyahah/ meratap ini adalah perbuatan jahiliyyah yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam;
Diriwayatkan dalam sahih Muslim dari Abu Hurairah radiyallahu anhu. bahawa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Ada dua perkara yang masih dilakukan oleh manusia, yang kedua duanya merupakan bentuk kekufuran: mencela keturunan, dan meratapi orang mati”.
FATWA-FATWA DARI ULAMA 4 MADZHAB MENGENAI SELAMATAN KEMATIAN
BalasHapusI. KALANGAN DARI MADZHAB HANAFI
• IMAM HASYIYAH IBNU ABIDIN
Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah, hukumnya buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. Dan dalam kitab al-Bazaziyah dinyatakan bahwa makanan yang dihidangkan pada hari pertama, ketiga, serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya. (Muhammad Amin, Hasyiyah Radd al- Muhtar ‘ala al-Dar al-Muhtar (Beirut: Dar al-Fikr, 1386) juz II, hal 240)
• IMAM AL-THAHTHAWI
Hidangan dari keluarga mayit hukumnya makruh, dikatakan dalam kitab al- Bazaziyah bahwa hidangan makanan yang disajikan PADA HARI PERTAMA, KETIGA, SERTA SEMINGGU SETELAH KEMATIAN MAKRUH HUKUMNYa. (Ahmad bin Ismain al-Thahthawy, Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah (Mesir: Maktabah al-Baby al-Halaby, 1318), juz I hal 409).
• IMAM IBNU ABDUL WAHID SIEWASI
Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah. hukumnya bid’ah yang buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. (Ibn Abdul Wahid Siewasy, Syarh Fath al-Qadir (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 142)
II. KALANGAN DARI MADZHAB MALIKI
BalasHapus• IMAM AL-DASUQY
Adapun berkumpul di dalam rumah keluarga mayit yang menghidangkan makanan hukumnya bid’ah yang dimakruhkan. (Muhammad al-Dasuqy, Hasyiyah al- Dasuqy ‘ala al-Syarh al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 419)
• IMAM ABU ABDULLAH AL-MAGHRABI
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut dimakruhkan oleh mayoritas ulama, bahkan mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai bagian dari bid’ah, karena tidak didapatkannya keterangan naqly mengenai perbuatan tersebut, dan momen tersebut tidak pantas untuk dijadikan walimah (pesta)… adapun apabila keluarga mayit menyembelih binatang di rumahnya kemudian dibagikan kepada orang- orang fakir sebagai shadaqah untuk mayit diperbolehkan selama hal tersebut tidak menjadikannya riya, ingin terkenal, bangga, serta dengan syarat tidak boleh mengumpulkan masyarakat. (Abu Abdullah al-Maghraby, Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil (Beirut: Dar al-Fikr, 1398) juz II, hal 228)
III. KALANGAN MADZHAB SYAFI’I
BalasHapus• IMAM AL-SYARBIN
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, Mughny al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 386) Adapun kebiasaan keluarga mayit menghidangkan makanan dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, al-Iqna’ li al-Syarbiny (Beirut: Dar al-Fikr, 1415) juz I, hal 210)
• IMAM AL-QALYUBI
Guru kita al-Ramly telah berkata: sesuai dengan apa yang dinyatakan di dalam kitab al-Raudl (an-Nawawy), sesuatu yang merupakan bagian dari perbuatan bid’ah munkarah yang tidak disukai mengerjakannya adalah yang biasa dilakukan oleh masyarakat berupa menghidangkan makanan untuk mengumpulkan tetangga, baik sebelum maupun sesudah hari kematian.(a l- Qalyuby, Hasyiyah al-Qalyuby (Indonesia: Maktabah Dar Ihya;’) juz I, hal 353)
• IMAM AN-NAWAWI
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disunnahkan. (an-Nawawy, al-Majmu’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1417) juz V, hal 186) IBN HAJAR AL-HAETAMY Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah munkarah yang dimakruhkan, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (Ibn Hajar al-Haetamy, Tuhfah al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 577)
• AL-SAYYID AL-BAKRI ABU BAKR AL-DIMYATI
Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah yang dimakruhkan, seperti hukum mendatangi undangan tersebut, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I’anah at-Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 146)
• IMAM AL-AQRIMANI
Adapun makanan yang dihidangkan oleh keluarga mayit pada hari ketiga, keempat, dan sebagainya, berikut berkumpulnya masyarakat dengan tujuan sebagai pendekatan diri serta persembahan kasih sayang kepada mayit, hukumnya bid’ah yang buruk dan merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah yang tidak pernah muncul pada abad pertama Islam, serta bukan merupakan bagian dari pekerjaan yang mendapat pujian oleh para ulama. justeru para ulama berkata: tidak pantas bagi orang muslim mengikuti perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang kafir. seharusnya setiap orang melarang keluarganya menghadiri acara-acara tersebut. ((al-Aqrimany hal 314 dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285)
• RAUDLAH AL-THALIBIEN an makanan oleh keluarga mayit dan pengumpulan masyarakat terhadap acara tersebut, tidak ada dalil naqlinya, bahkan perbuatan tersebut hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Raudlah al-Thalibien (Beirut: al- Maktab al-Islamy, 1405) juz II, hal 145)
1. MADZHAB HAMBALI
BalasHapus• IMAM IBNU QUDAMAH AL-MUQADDASI
Adapun penghidangan makanan untuk orang-orang yang dilakukan oleh keluarga mayit, hukumnya makruh. karena dengan demikian berarti telah menambahkan musibah kepada keluarga mayit, serta menambah beban, sekaligus berarti telah menyerupai apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. dan diriwayatkan bahwa Jarir mengunjungi Umar, kemudian Umar berkata: “Apakah kalian suka berkumpul bersama keluarga mayat yang kemudian menghidangkan makanan?” Jawab Jarir: “Ya”. Berkata Umar: “Hal tersebut termasuk meratapi mayat”. Namun apabila hal tersebut dibutuhkan, maka diperbolehkan, seperti karena diantara pelayat terdapat orang-orang yang jauh tempatnya kemudian ikut menginap, sementara tidak memungkinkan mendapat makanan kecuali dari hidangan yang diberikan dari keluarga mayit. (Ibn Qudamah al-Muqaddasy, al-Mughny (Beirut: Dar al-Fikr, 1405) juz II, hal 214)
• IMAM ABU ABDULLAH IBN MUFLAH AL-MUQADDASI
Sesungguhnya disunahkan mengirimkan makanan apabila tujuannya untuk (menyantuni) keluarga mayit, tetapi apabila makanan tersebut ditujukan bagi orang-orang yang sedang berkumpul di sana, maka hukumnya makruh, karena berarti telah membantu terhadap perbuatan makruh; demikian pula makruh hukumnya apabila makanan tersebut dihidangkan oleh keluarga mayit) kecuali apabila ada hajat, tambah sang guru [Ibn Qudamah] dan ulama lainnya).(A bu Abdullah ibn Muflah al-Muqaddasy, al-Furu’ wa Tashhih al-Furu’ (Beirut: Dar al-Kutab, 1418) juz II, hal 230-231)
• IMAM ABU ISHAQ BIN MAFLAH AL-HANBALI
Menghidangkan makanan setelah proses penguburan merupakan bagian dari niyahah, menurut sebagian pendapat haram, kecuali apabila ada hajat, (tambahan dari al-Mughny). Sanad hadits tentang masalah tersebut tsiqat (terpercaya). (Abu Ishaq bin Maflah al-Hanbaly, al-Mabda’ fi Syarh al-Miqna’ (Beirut: al-Maktab al-Islamy, 1400) juz II, hal 283)
• IMAM MANSHUR BIN IDRIS AL-BAHUTI
Dan dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk menghidangkan makanan kepada para tamu, berdasarkan keterangan riwayat Imam Ahmad dari Shahabat Jarir. (Manshur bin Idris al-Bahuty, al-Raudl al-Marbi’ (Riyadl: Maktabah al-Riyadl al-Hadietsah, 1390) juz I, hal 355)
• IMAM KASYF AL-QANA’
Menurut pendapat Imam Ahmad yang disitir oleh al-Marwadzi, perbuatan keluarga mayit yang menghidangkan makanan merupakan kebiasaan orang jahiliyah, dan beliau sangat mengingkarinya…dan dimakruhkan keluarga mayit menghidangkan makanan (bagi orang-orang yang sedang berkumpul di rumahnya kecuali apabila ada hajat, seperti karena di antara para tamu tersebut terdapat orang-orang yang tempat tinggalnya jauh, mereka menginap di tempat keluarga mayit, serta secara adat tidak memungkinkan kecuali orang tersebut diberi makan), demikian pula dimakruhkan mencicipi makanan tersebut. Apabila biaya hidangan makanan tersebut berasal dari peninggalan mayit, sedang di antara ahli warisnya terdapat orang (lemah) yang berada di bawah pengampuan, atau terdapat ahli waris yang tidak memberi izin, maka haram hukumnya melakukan penghidangan tersebut. (Kasyf al-Qina’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1402) juz II, hal 149)
• SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH
Adapun penghidangan makanan yang dilakukan keluarga mayit (dengan tujuan) mengundang manusia ke acara tersebut, maka sesungguhnya perbuatan tersebut bid’ah, berdasarkan perkataan Jarir bin Abdillah: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. (Ibn Taimiyah, Kutub wa Rasail wa Fatawa Ibn Taimiyah fi al-Fiqh (Maktabah Ibn Taimiyah) juz 24, hal 316)
Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat, bila ada kesalahan mohon maaf dan koreksinya. Sampaikanlah kepada saudara-saudara kita sebagai upaya untuk memperbaiki umat Islam ini
Di rujuk kepada tulisan:
Catatan Satu Hari, Satu Ayat Qur’an. Dengan editing dan penambahan literatur.
http://www.facebook.com/note.php?saved&&suggest¬e_id=119997524710098#!/note.php?note_id=402269969650&id=203164362857&ref=mf
Menurutku Tahlilan itu keren dan baik, tatangga pada datang, saudara yg jauh juga datang dengan tujuan mendoakan almarhum. Dan memberi motivasi Kepada keluarga yg di tinggalkan Supaya sabar dan tabah , Nah klo mereka sudah datang Tapi tidak di beri hidangan Walau sekedarnya , itu namanya tidak sopan dan tidak menghormati tamu. Dan Tahlilan ini termasuk budaya Dan tradisi yg baik Sebagai orang timur yg Ramah dan santun. Klo di Arab Budaya seperti tahlilan itu memang kurang memungkinkan di nilai dari beberapa hal. Di Arab itu sejak dulu memang Jarang sekali kumpul kumpul dengan tetangga Di rumah tetangga, atau mengunjungi tetangga mereka jarang. Terkadang dengan tetangga tidak begitu akrab. Jarang senyum dan agak cemberut. Mereka ketemunya cuma Pas di masjid. Dan saat lebaran idul fitri juga beda antara di arab dan di indonesia. Di arab Tidak begitu meriah mereka cuma mengunjungi sodara atau orang yg sudah Di kenal dekat, klo di indonesia kita akan mengunjungi tetangga dari ujung Kampung sampai ujung, kenal gak kenal di datangi. Dan Budaya negara kita Sejak nenek moyang, ada gotong royong. Ada kerja bakti, ada grebek kampung, dari ujung kampung sampai ujung semua saling kenal. Klo ada yg meninggal semua pada datang, dan mereka yg datang itu tidak di undang, mereka datang sendiri Tanpa di paksa. Justru mereka datang membawa Sembako, beras gula dll. Klo sudah datang terus tidak di beri hidangan sekedarnya. Itu sangat tidak sopan dan tidak menghormati tamu. Nah Mereka sudah datang tanpa di undang maksud mereka turut berbela sungkawa. Terus kita usir mereka dengan ngomong ini bidah ini tidak boleh. Tentu itu tidak baik tidak menghormati tamu dan sudah pasti menyakiti hati mereka, datang bermaksud baik tapi di usir udah gitu di katain bidah macam2. Bisa2 satu kampung tidak mau lagi menegurnya. Itu pendapat saya yg saya dapat dari guru saya
BalasHapusmenurut saya anda ini gak karuan, tidak cerdas dan tidak
Hapusmenerima nasehat, jika anda di kaitkan dengan artikel di atas,
jika saya memilih sya lebih pilih percaya nabi ketimbang anda,
wassalam..
Pak Anwar saya setuju dengan yang telah anda jelaskan terima kasih ilmunya
HapusPak Anwar saya setuju dengan yang telah anda jelaskan terima kasih ilmunya
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapustidak ada yang memimpin tahlilan saat NABI MUHAMMAD SAW wafat, alasannya karena NABI MUHAMMAD SAW adalah maksum dan beliau sudah dijamin dengan rahmat ALLAHU SWT masuk surga, :) , kalau saat RASULLLAH SAW wafat diadakan tahlilan itu artinya menganggap dan menuduh NABI tidak maksum, :) , tahlilan hanya berlaku bagi mereka yang tidak maksum dan tidak mendapat jaminan rahmat masuk SURGA, :) , karena RASULULLAH SAW adalah maksum maka tidak ada tahlilan untuk beliau karena tidak ada tahlilan maka tidak ada seorangpun yang memimpin tahlilan.
BalasHapusCetek otak ni orang
HapusTidak semua amalan islam mesti selalu dengan apa yang dilakukan oleh Rosulullah karena ada amalan yang tidak dilakukan oleh beliau tetapi disetujui oleh beliau. Misal bersedekah pahalanya untuk orang lain, mendoakan orang meninggal, membaca kalimat takbir, tahlil dan tasbih berjamaah. Amalan-amalan tersebut bila dirangkaikan dalam waktu dan tempat yang sama supaya praktis jadilah yang kita kenal dengan nama "tahlilan". Permasalahan biaya dari mana biasanya (ditempat saya) ada sumbangan atau bantuan dari tetangga, berupa uang atau bahan makanan, dan peralatan lain. Yang memasak dan menyiapkan tetangga, gratis tidak bayar. Ahli waris merasa senang karena ada yang menemani, datang menghibur dikala mendapat musibah, mereka tentram karena tetangga peduli dan membantu mereka disaat sulit. Ini menunjukkan gotong royong dan ukhuwahnya kuat. Kalau ditempat lain yang mungkin keberatan dengan acara tersebut mungkin apa-apa ditanggung sendiri sehingga terasa berat. Menurut saya permasalahannya ada pada rendahnya rasa gotong royong. Di tempat saya juga beberapa kali tahlilan tanpa hidangan, yang datang juga banyak, tidak ada cemooh.
BalasHapusSeandainya setiap amalan itu harus apa yang dilakukan oleh Beliau Rosulullah maka misal sholat tarowih (berjamaah) hanya pada 2 ataua 3 hari pertama atau beberapa malam ganjil bulan Romadlon saja karena itu yang beliau lakukan. Sama halnya dengan perayaan maulud/milad. Saat sekarang ini, hampir setiap organisasi keagamaan Islam merayakan milad/ulang tahun, hampir pasti setiap tahun sehingga rutin denga anggaran yang besar, ada makanan dihidangkan, ada uang yang dibelanjakan. Tapi tidak seorang pun yang keberatan dengan acara tersebut. Kenapa harus setiap tahun. Ya namanya milad. Tapi Rosulullah tidak merayakan hari lahir dengan begitu, beliau berpuasa, bersedekah.
Mungkin apa yang saya tulis bisa menjadi pelengkap diskusi ini. Maaf jika ada yang kurang berkenan. Terima kasih. Wassalam