Sabtu, 24 Maret 2012

PANDANGAN HUKUM ISLAM TENTANG TAHLILAN


Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami Al Qur’an tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga Allah subhanahu wata’ala mencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk senantiasa menerima kebenaran hakiki.

Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”. 

Termasuk  perkara  penting  yang  sering  menjadi  perdebatan  sengit  bahkan  terkadang  menyebabkan putusnya hubungan yaitu berkumpulnya keluarga orang yang meninggal di suatu tempat untuk
menyambut  orang‐orang  yang  datang  untuk  melayat  jenazahnya,  dan  telah  menjadi tradisi  kalau  keluarga  dari  orang  yang  telah meninggal  dunia  berkumpul  dalam  satu tempat  (di  rumah duka), demi memudahkan para pelayat daripada harus mengunjungi satu persatu dari keluarga orang yang telah meninggal tersebut di tempat – tempat yang berbeda terutama jika ia tidak sempat mengantarkan jenazahnya. kadang2 makanan yang disediakan seperti pada pesta kecil-kecilan.

Sebenarnya acara tahlilan telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya.  Hal ini jelas kita temui pada Firman Allah pada Surah An Nisaa’: 59 (artinya) : “Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” 

Untuk itu perlu kita melihat dasar-dasar pemikiran dan dalil-dalil yang diambil oleh kalangan yang pro maupun yang kontra tentang Tahlilan ini.

Kalangan yang Mendukung Tahlilan
Madzhab  Ahlussunnah  wal  Jama’ah  mempergunakan  Ijma’  dan  Qiyas  kalau  tidak  mendapatkan  dalil  nash  yang  shahih  (jelas)  dari Al‐Qur’an  dan As‐Sunnah. Kita  tidak  dapat menghalalkan sesuatu atau mengharamkan sesuatu, kecuali dengan dalil‐dalil yang  jelas berdasarkan ke 4 sumber hukum di atas.   Janganlah kita mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah  SWT dan Rasul‐Nya, dan jangan  pula menghalalkan  apa  yang  diharamkan Allah  SWT  dan Rasul‐Nya. Di  dalam Ilmu Fiqih apabila kita melihat suatu perbuatan di  tengah‐tengah masyarakat, kita  tidak bisa dengan secepat mungkin berkata halal atau haram. Kita sebaiknya mengikuti dan mengambil pelajaran dari kisah sahabat Mu’adz r.a. ketika  beliau di utus oleh Rasulullah saw ke negeri Yaman.
“Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda  bagaimana  engkau menentukan  apabila  tampak  kepadamu  suatu  ketentuan?   Mu’adz menjawab;  saya  akan menentukan  hukum  dengan  kitab Allah?  kemudian  nabi bersabda;  kalau  tidak  engkau  jumpai  dalam  kitab  Allah? Mu’adz  menjawab;  dengan Sunnah  Rasulullah  s.aw.  kemudian  nabi  bersabda;  kalau  tidak  engkau  jumpai  dalam Sunnah  Rasulullah  dan  dalam  kitab  Allah? Mu’adz  menjawab;  saya  akan  berijtihad dengan  pendapat  saya  dan  saya  tidak  kembali;  Mu’adz  berkata:  maka  Rasulullah memukul  dadanya,  kemudian Mu’adz  berkata;  Alhamdulillah  yang  telah  memberikan  taufiq kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai‐Nya."

Langkah  yang  di  ambil  dari  sahabat Mu’adz  r.a.  di  atas  dapat  kita  jadikan  pedoman dalam  mengambil  suatu  langkah‐langkah  hukum  agama  apabila  kita  melihat  dan mendapati amalan baru‐baru yang berkembang di masyarakat.

Pengiriman hadiah pahala bagi mayit  ini  sunnah  secara  syariat  sebagaimana Rasulullah SAW.   mencontohkan  dan  membolehkannya,  ketika  salah  seorang  yang  menemui Rasulullah  SAW  dan  bertanya  tentang  suatu  hal  sebagaimana  teriwayat  dalam  hadist berikut:
 
  • Dari Abu Dzar radliallahu 'anhu, dari Nabi shalla Allahu alaihi wa sallam, sesungguhnya beliau bersabda: "Bahwasanya pada setiap tulang sendi kalian ada sedekah. Setiap bacaan tasbih itu adalah sedekah, setiap bacaan tahmid itu adalah sedekah, setiap bacaan TAHLIL itu adalah sedekah, setiap bacaan takbir itu adalah sedekah, dan amar ma’ruf nahi munkar itu adalah sedekah, dan mencukupi semua itu dua rakaat yang dilakukan seseorang dari sholat Dluha.” (Hadits riwayat: Muslim).
  •  
  •  Dari Aisyah  ra bahwa sungguh  telah datang seorang  lelaki pada nabi saw seraya berkata:  “Wahai Rasulullah,  sungguh  ibuku  telah meninggal mendadak  sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?”, Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits no.1004).
  • Seorang  laki‐laki  bertanya  kepada  Rasulullah  SAW,  “Ayahku meninggal  dunia, dan ia meninggalkan harta serta tidak memberi wasiat. Apakah dapat menghapus dosanya bila  saya  sedekahkan?” Ujar Nabi SAW, “Dapat!”  [HR. Ahmad, Muslim dari Abu Hurairah]
 Memang hadist di atas adalah berhubungan dengan sedeqah jariyah bagi si mayit namun  jelas sekali kejadian di atas adalah ketika orang  tua dari sang  lelaki  itu  telah meninggal, bukan ketika orang tua masih hidup pada saat sang anak menyedekahkan harta sang Ibu dan pahalanya bagi orang tua mereka.  Jadi  jelaslah  bahwa  sang  anak mensedeqahkan  harta  dari  orang  tuanyadan mengirim  menghadiahkan pahala sedeqah tersebut bagi orang tuanya yang telah meninggal dunia. 

Banyak hadist hadist dari Rasulullah saw. dan riwayat sahabat r.a. yang nyata dan kuat  membolehkan mengirim pahala bagi mayit khususnya  lewat bacaan Al‐Qur’an, doa dan  sedeqah adalah dari hadist‐hadist berikut ini :
 
  • Abu Muhammad As Samarkandy, Ar Rafi’iy dan Ad Darquthniy, masing‐masing menunjuk  sebuah  hadits  yang  diriwayatkan  oleh  Imam Ali  bin Abi  Thalib  k.w. bahwa  Rasul  saw  bersabda:  “Barangsiapa  lewat  melalui  kuburan,  kemudian  ia membaca  “Qul  Huwallahu  Ahad”  sebelas  kali dengan niat menghadiahkan pahalanya pada para penghuni kubur,  ia sendiri akan memperoleh sebanyak yang diperoleh semua penghuni kubur”.
  • Abu  Hurairah  ra  meriwayatkan  bahwasanya  Nabi  Muhammad  saw  bersabda: “Barangsiapa yang berziarah di kuburan, kemudian ia membaca ‘Al Fatihah’, ‘Qul Huwallahu Ahad’ dan ‘Alhakumut takatsur’, lalu ia berdoa Ya Allah, kuhadiahkan pahala  pembacaan  firmanMu  pada  kaum  Mu’minin  dan  Mu’minat  penghuni kubur  ini, maka mereka  akan menjadi  penolong  baginya(pemberi  syafaat)  pada hari kiamat”.
  •  Diriwayatkan  oleh Daruquthni  bahwa  seorang  laki‐laki  bertanya,  “Ya Rasulullah SAW,  saya  mempunyai  ibu  bapak  yang  selagi  mereka  hidup,  saya  berbakti kepadanya.  Maka  bagaimana  caranya  saya  berbakti  kepada  mereka,  setelah mereka meninggal dunia?”  Ujar Nabi SAW, “Berbakti  setelah mereka meninggal, caranya  ialah  dengan melakukan  shalat  untuk mereka  disamping  shalatmu,  dan berpuasa untuk mereka disamping puasamu!”
  • Seorang  sahabat  bertanya  kepada  Rasulullah  saw,  seraya  berkata:  "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami bersedekah untuk keluarga kami yang sudah mati, kami  melakukan  haji  untuk  mereka  dan  kami  berdoa  bagi  mereka;  apakah  hal tersebut  pahalanya  dapat  sampai  kepada mereka?  Rasulullah  saw  bersabda:  Ya! Sungguh  pahala  dari  ibadah  itu  benar‐benar  akan  sampai  kepada  mereka  dan sesungguhnya mereka itu benar‐benar bergembira  dengan kiriman  pahala tersebut, sebagaimana salah seorang dari kamu sekalian bergembira dengan  hadiah apabila hadiah tersebut dikirimkan kepadanya!ʺ
  • “Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik, ia berkata; Nabi SAW telah menunaikan shalat jenazah, aku mendengar Nabi SAW berdoa; Ya Allah!! ampunilah dia, rahmatilah dia, maafkan dia.”
  • Dalam  riwayat  lainnya dari Anas bin Malik  r.a. bahwa Rasulullah  saw bersabda: ”Apabila  seorang mukmin membaca  ayat Kursi   dan menghadiahkan  pahalanya kepada para penghuni kubur, maka Allah akan memasukkan empat puluh cahaya ke setiap kubur orang mukmin  mulai dari ujung dunia bagian timur sampai barat, Allah akan melapangkan  liang kubur mereka, memberi pahala enam puluh orang nabi  kepada  yang  membaca,  mengangkat  satu  derajat  bagi  setiap  mayit,  dan menuliskan sepuluh kebajikan bagi  setiap mayit.”
  •  Al‐Baihaqiy  di  dalam  Sya’bul‐Iman  mengetengahkan  sebuah  hadist  yang diriwayatkan  oleh  Mi’qal  bin  Yassar  r.a.,  dan  dalam  Al‐Jami’ush‐Shaghir  dan    Misykatul‐Mashabih  bahwa  Rasulullah  saw  bersabda:  “Barang  siapa  membaca Yasin  semata‐mata  demi  keridhoan  Allah,  ia  memperoleh  ampunan  atas  dosa‐dosanya  yang  telah  lalu.  Karena  itu  hendaknya  kalian membacakan  Yasin  bagi orang – orang yang telah meninggal dunia di antara kalian.”
  • Diriwayatkan  pula  bahwa  Siti  Aisyah  pernah  beritikaf  atas  nama  adiknya Abdurrahman bin Abu Bakar yang telah meninggal dunia. Bahkan Siti Aisyah juga memerdekakan budak atas namanya (adiknya). (Al Imam Qurthubi di dalam kitab At‐Tadzkirat Bi Ahwali al‐Mauta wa Umur al‐Akhirat.
 Hadits‐hadits di atas dijadikan dalil oleh para ulama salaf dan kalaf untuk menfatwakan  kebolehan  mengirim  /  menghadiahkan  pahala  baik  sedeqah,  bacaan  Al  Qur’an  dan mendoakan bagi mayit.
 
Sedangkan mengenai tentang jamuan makanan / minuman ala kadarnya bagi tamu ketika  tahlilan  (para  pelayat  /  pentakziyah) merupakan  amalan mulia  yang  sangat  dianjurkan  untuk memuliakan mereka (tamu).  Jamuan  sederhana  (ala kadarnya)  ini bisa di kategorikan  sebagai  sedeqah dari keluarga  (shohibul bait) yang mana pahala dari sedeqah ini bisa  di hadiahkan kepada mayyit (yang meninggal) atau untuk dirinya sendiri (keluarga mayyit).   
Memberi  jamuan  yang  biasa  diadakan  ketika  ada  orang  meninggal,  hukumnya  boleh  (mubah),  dan menurut mayoritas  ulama  bahwa memberi  jamuan  itu  termasuk  ibadah  yang  terpuji  dan  dianjurkan.  Sebab,  jika  dilihat  dari  segi  jamuannya  termasuk  sedekah   yang  dianjurkan  oleh  Islam  yang  pahalanya  dihadiahkan  pada  orang  telah meninggal.  Dan lebih dari itu,  ada tujuan lain yang ada di balik  jamuan tersebut, yaitu ikramud dla`if  (menghormati  tamu),  dengan  bersabar menghadapi musibah  dan  tidak menampakkan  rasa susah dan gelisah kepada orang lain.

Mengenai  makan  dirumah  duka,  sungguh  Rasul  saw  telah  melakukannya,  dijelaskan  dalam Tuhfatul Ahwadziy :

“Riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam  sunannya  dengan  sanad  shahih,  dari  ayahnya,  dari  seorang  lelaki  anshar,  berkata  :  kami keluar bersama Rasul  saw dalam  suatu penguburan  jenazah,  lalu kulihat Rasul  saw memerintahkan pada penggali kubur  untuk memperlebar dari arah kaki dan dari  arah  kepala,  ketika  selesai  maka  datanglah  seorang  utusan  istri  almarhum,  mengundang  Nabi  saw  untuk  bertandang  kerumahnya,  lalu  Rasul  saw  menerima undangannya  dan  kami  bersamanya,  lalu  dihidangkan  makanan,  lalu  Rasul  saw  menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu  lalu  kesemuanyapun  makan.  
 
Riwayat  Abu  Dawud  dan  Baihaqi  dalam  Dalail  Nubuwwah,  demikian  pula  diriwayatkan  dalam  AL  Misykaah,  di  Bab  Mukjizat,  dikatakan  bahwa  ketika  beliau  saw  akan  pulang  maka  datanglah  utusan  istri  almarhum.. dan hal  ini merupakan Nash  yg  jelas bahwa Rasulullah  saw mendatangi  undangan  keluarga  duka,  dan  berkumpul  bersama  sahabat  beliau  saw  setelah  penguburan dan makan”. (Tuhfatul Ahwadziy Juz 4 hal 67).
 
Imam Thawus berkata: Seorang yang mati akan beroleh ujian dari Allah dalam kuburnya  selama  7  hari.  Untuk  itu,  sebaiknya mereka  (yang masih  hidup) mengadakan  jamuan  makan  (sedekah) untuknya selama hari‐hari  tersebut. Sahabat Ubaid  ibn Umair berkata:  “Seorang mukmin dan seorang munafiq sama‐sama akan mengalami ujian dalam kubur.  Bagi seorang mukmin akan beroleh ujian selam 7 hari, sedang seorang munafiq selama 40  hari di waktu pagi.”  (Al Hawi lil Fatawa as Suyuti, Juz II hal 178)
 
 
Kalangan yang Menolak Tahlilan

  • “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agamamu.” (QS. al-Ma‘idah [5]: 3). disini Allah mengatakan bahwa Agama Islam telah sempurna.
  • Segala bentuk bid’ah dalam Ad-Dien hukum ialah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Arti : Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yg baru, krn sesungguh mengadakan hal yg baru ialah bid’ah, dan setiap bid’ah ialah sesat”. [Hadits Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih]. 
  • Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,“Arti : Barangsiapa mengadakan hal yg baru yg bukan dari kami maka peruntukan tertolak”.
  • Hadis riwayat Muslim : “Jika manusia meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga : “sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang selalu mendoakan orang tuanya”. Mereka berkata : “Kata-kata “terputuslah amalnya” menunjukkan bahwa amal-amal apapun kecuali yang tiga itu tidak akan sampai pahalanya kepada mayit.
  •  Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya seseorang itu tidak akan menanggung dosa seseorang yang lain dan bahwasanya manusia tidak akan memperolehi ganjaran melainkan apa yang telah ia kerjakan.” (An-Najm: 38-39). Berkata Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rohimahulloh: “Melalui ayat yang mulia ini, Imam Syafi’i rohimahulloh dan para pengikutnya menetapkan bahwa pahala bacaan (Al-Qur’an) dan hadiah pahala tidak sampai kepada orang yang mati, karena bacaan tersebut bukan dari amal mereka dan bukan usaha mereka. Oleh karena itu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan umatnya, mendesak mereka untuk melakukan perkara tersebut dan tidak pula menunjuk hal tersebut (menghadiahkan bacaan kepada orang yang mati) walaupun hanya dengan sebuah dalil pun.”

Islam telah menunjukkan hal yang dapat dilakukan oleh mereka yang telah ditinggal mati oleh teman, kerabat atau keluarganya yaitu dengan mendo’akannya agar segala dosa mereka diampuni dan ditempatkan di surga Alloh subhanahu wa ta’ala. Sedangkan jika yang meninggal adalah orang tua, maka termasuk amal yang tidak terputus dari orang tua adalah do’a anak yang sholih karena anak termasuk hasil usaha seseorang semasa di dunia.

Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)

Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)

Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami.

Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:
اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ
“Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya).

Sekali lagi, bukan pihak yang sedang berduka yang harus menyajikan makanan untuk para pelawat .
 
 
 
????????? 
  1. Ulama sepakat bahwa amal jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang soleh, pahalanya akan tetap mengalir kepada si mayit. 
  2. Ulama menyepakati doa akan sampai kepada mayit, sedangkan masalah bacaan Al-Qur'an, tahmid, tahlil yang dilakukan orang lain kepada si mayit ulama masih berbeda pendapat. Tidakkah lebih baik apabila anak sendiri yang memberikan sedekah tahmid, tahlil kepada orang tua dan baru beramai2 berdoa untuk si mayit??
  3. Penyediaan makanan dan minuman bagi para penta’ziyah atau para hadirin haruslah disiapkan oleh para tetangga atau keluarga jauh dari si mayit tanpa membebankan keluarga dekat si mayit. Dalam penyediaan ini juga harus dihindari kemubadziran dalam penyediaannya.
  4. Adapun berkumpulnya masyarakat di rumah keluarga si mayit bisa dikategorikan kedalam bentuk ta’ziyah namun hendaknya ta’ziyah tidak dilakukan terlalu sering karena akan menambah kesedihan mereka, cukup dilakukan satu kali saja. Acara ini tidak mesti terpaku dengan hari-hari tertentu yang selama ini terjadi di masyarakat serta harus menghindari hal-hal yang dilarang oleh agama.
  5. tentang penyediaan makanan oleh anak (keluarga) yang dikatakan sedekah yang juga masih jadi bahan perdebatan ulama, tidakkah lebih baik lagi jika uang tersebut untuk penyediaan makanan tersebut disedekahkan kepada Anak Yatim, orang miskin atas si mayit maupun hal lain untuk amal jariyah si mayit???
 

19 komentar:

  1. Nabi memiliki beberapa anak, yang anak laki2 semua

    meninggal sewaktu masih kecil. Anak-anak perempuan

    beliau ada 4 termasuk Fatimah, hidup sampai

    dewasa.
    Ketika Nabi masih hidup, putra-putri beliau yg

    meninggal tidak satupun di TAHLIL i, kl di do'akan

    sudah pasti, karena mendo'akan orang tua,

    mendo'akan anak, mendo'akan sesama muslim amalan

    yg sangat mulia.

    Ketika NABI wafat, tdk satu sahabatpun yg TAHLILAN

    untuk NABI,
    padahal ABU BAKAR adalah mertua NABI,
    UMAR bin KHOTOB mertua NABI,
    UTSMAN bin AFFAN menantu NABI 2 kali malahan,
    ALI bin ABI THOLIB menantu NABI.
    Apakah para sahabat BODOH....,
    Apakah para sahabat menganggap NABI hewan....

    (menurut kalimat sdr sebelah)
    Apakah Utsman menantu yg durhaka.., mertua

    meninggal gk di TAHLIL kan...
    Apakah Ali bin Abi Tholib durhaka.., mertua

    meninggal gk di TAHLIL kan....
    Apakah mereka LUPA ada amalan yg sangat baik,

    yaitu TAHLIL an koq NABI wafat tdk di TAHLIL i..

    Semua Sahabat Nabi SAW yg jumlahnya RIBUAN,

    Tabi'in dan Tabiut Tabi'in yg jumlahnya jauh lebih

    banyak, ketika meninggal, tdk ada 1 pun yg

    meninggal kemudian di TAHLIL kan.

    cara mengurus jenazah sdh jelas caranya dalam

    ISLAM, seperti yg di ajarkan dalam buku2 pelajaran

    wajib dr SD - Perguruan tinggi. Termasuk juga tata

    cara mendo'akan Orang tua yg meninggal dan tata

    cara mendo'akan orang2 yg sdh meninggal dr kaum

    muslimin.

    Saudaraku semua..., sesama MUSLIM...
    saya dulu suka TAHLIL an, tetapi sekarang tdk

    pernah sy lakukan. Tetapi sy tdk pernah mengatakan

    mereka yg tahlilan berati begini.. begitu dll.

    Para tetangga awalnya kaget, beberapa dr mereka

    berkata:" sak niki koq mboten nate ngrawuhi

    TAHLILAN Gus.."
    sy jawab dengan baik:"Kanjeng Nabi soho putro

    putrinipun sedo nggih mboten di TAHLILI, tapi di

    dongak ne, pas bar sholat, pas nganggur leyeh2,

    lan sakben wedal sak saget e...? Jenengan Tahlilan

    monggo..., sing penting ikhlas.., pun ngarep2

    daharan e..."
    mereka menjawab: "nggih Gus...".

    sy pernah bincang-bincang dg kyai di kampung saya,

    sy tanya, apa sebenarnya hukum TAHLIL an..?
    Dia jawab Sunnah.., tdk wajib.
    sy tanya lagi, apakah sdh pernah disampaikan

    kepada msyarakat, bahwa TAHLILAN sunnah, tdk

    wajib...??
    dia jawab gk berani menyampaikan..., takut timbul

    masalah...
    setelah bincang2 lama, sy katakan.., Jenengan

    tetap TAHLIl an silahkan, tp cobak saja

    disampaikan hukum asli TAHLIL an..., sehingga

    nanti kita di akhirat tdk dianggap menyembunyikan

    ILMU, karena takut kehilangan anggota.., wibawa

    dll.

    Untuk para Kyai..., sy yg miskin ilmu ini,

    berharap besar pada Jenengan semua...., TAHLIL an

    silahkan kl menurut Jenengan itu baik, tp sholat

    santri harus dinomor satukan..
    sy sering kunjung2 ke MASJID yg ada pondoknya.

    tentu sebagai musafir saja, rata2 sholat jama'ah

    nya menyedihkan.
    shaf nya gk rapat, antar jama'ah berjauhan, dan

    Imam rata2 gk peduli.
    selama sy kunjung2 ke Masjid2 yg ada pondoknya,

    Imam datang langsung Takbir, gk peduli tentang

    shaf...

    Untuk saudara2 salafi..., jangan terlalu keras

    dalam berpendapat...
    dari kenyataan yg sy liat, saudara2 salfi memang

    lebih konsisten.., terutama dalam sholat.., wabil

    khusus sholat jama'ah...
    tapi bukan berati kita meremehkan yg lain.., kita

    do'akan saja yg baik...
    siapa tau Alloh SWT memahamkan sudara2 kita kepada

    sunnah shahihah dengan lantaran Do'a kita....

    demikian uneg2 saya, mohon maaf kl ada yg tdk

    berkenan...
    semoga Alloh membawa Ummat Islam ini kembali ke

    jaman kejayaan Islam di jaman Nabi..., jaman

    Sahabat.., Tabi'in dan Tabi'ut Tabi'in
    Amin ya Robbal Alamin

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya disini sependapat dengan anda, bagi saya hal-hal dalam ibadah yang sering diperselisihkan dimana tidak disinggung dengan jelas dalam Al-Qur'an dan Hadist maka saya jadi agak ragu terhadap hal tersebut (dimana sebelumnya hal tersebut saya lakukan).

      dan perlu ditegaskan bahwa saya tidak berani mengatakan bahwa setiap hal baru adalah bid'ah disebabkan kurangnya pengetahuan saya (karena untuk menghukumi sesuatu merupakan hal yang sangat berat sepanjang pengetahuan saya)

      Bukankah Rasullullah mengatakan untuk meninggalkan hal yang meragukan dan Rasulullah juga menegaskan bahwa lebih baik amalan yang sedikit tetapi benar daripada amalan banyak tetapi bid'ah. toh saya juga berpikir yang jelas-jelas Sunnah Rasulullah saja tidak bisa semua kita laksanakan, inikan lagi hal yang diragukan bahkan ada yang mengatakan hal tersebut tidak memiliki Nash atau Rujukan dari Al-Qu'an dan Hadist. jadi untuk kehati-hatian saya agak menjauhi hal tersebut.

      Sangat disayangkan yang terjadi di daerah Indonesia : hal-hal yang jelas bertentangan dengan Syariat Islam malah masih/lebih dipertahankan dengan alasan untuk pelestarian budaya seperti : Sesajen, Pemandian barang-barang pusaka, pemakaian jimat, Bahkan hal-hal mistik seperti perdukunan dengan kedok agama masih marak diberitakan di Televisi.
      Secara Pribadi saya juga lebih suka dengan prinsip Salafi karena kehati-hatian yang tinggi untuk tetap berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan Hadist, tetapi saya kurang setuju dengan cara dakwah yang terlalu keras, sering kita lihat betapa mudahnya mereka mengatakan sesat bahkan kafir terhadap muslim yang lain (Mudah2an itu hanya dilakukan oleh segelintir dari golongan salafi).
      apakah mereka lupa bahwa Rasulullah melarang kita untuk mengkafirkan seseorang dan masalah surga dan neraka itu adalah hak Allah, kita masuk ke surga itu juga karena Rahmat Allah...

      Saya agak lega saat bertemu dengan Salafi yang lain yang mengatakan bahwa seharusnya kita berdakwah harus dengan lemah lembut sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah beserta sahabatnya. masalah orang menerima atau tidak dari dakwah tersebut itu adalah masalah hidayah dan hidayah itu hanya dari Allah semata..

      Semoga kita semua selalu mendapat Rahmat dan Hidayah dari Allah Azzawajalla.. Aaamiin..

      Hapus
    2. saya setuuuju dengan anda

      Hapus
    3. tidak ada yang memimpin tahlilan saat NABI MUHAMMAD SAW wafat, alasannya karena NABI MUHAMMAD SAW adalah maksum dan beliau sudah dijamin dengan rahmat ALLAHU SWT masuk surga, :) , kalau saat RASULLLAH SAW wafat diadakan tahlilan itu artinya menganggap dan menuduh NABI tidak maksum, :) , tahlilan hanya berlaku bagi mereka yang tidak maksum dan tidak mendapat jaminan rahmat masuk SURGA, :) , karena RASULULLAH SAW adalah maksum maka tidak ada tahlilan untuk beliau karena tidak ada tahlilan maka tidak ada seorangpun yang memimpin tahlilan.

      Hapus
  2. Pandangan Imam Syafii.
    Nah, bagaimana dengan pandangan imam Syafii sendiri –yang katanya- mayoritas ummat Islam di Indonesia bermadzab dengannya, apakah ia sepakat dengan kebanyakan kaum muslimin ini atau justru beliau sendiri yang melarang kegiatan tahlilan ini?
    Didalam kitab al Umm (I/318), telah berkata imam Syafii berkaitan dengan hal ini;
    “Aku benci al ma’tam, yaitu berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbahrui kesedihan.”
    Jadi, imam Syafii sendiri tidak suka dengan kegiatan tahlilan yang dilakukan sebagaimana yang banyak dilakukan oleh ummat Islam sendiri.
    Membaca Al Qur’an untuk orang mati (menurut Imam Syafi’i).
    Dalam Al Qur’an, di surat An Najm ayat 38 dan 39 disebutkan disana;
    [53.38] (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,
    [53.39] dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.
    Berkaitan dengan hal ini maka Al Hafidh Ibnu Katsir menafsirkannya sebagai berikut;
    “Yaitu, sebagaimana seseorang tidak akan memikul dosa orang lain, demikian juga seseorang tidak akan memperoleh ganjaran/pahala kecuali apa-apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri.
    Dan dari ayat yang mulia ini, al Imam Asy Syafii bersama para ulama yang mengikutinya telah mengeluarkan suatu hukum: Bahwa Al Qur’an tidak akan sampai hadiah pahalanya kepada orang yang telah mati.
    Karena bacaan tersebut bukan dari amal dan usaha mereka. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tidak pernah mensyariatkan umatnya (untuk menghadiahkan bacaan Qur’an kepada orang yang telah mati) dan tidak juga pernah menggemarkannya atau memberikan petunjuk kepada mereka dengan baik dengan nash (dalil yang tegas dan terang) dan tidak juga dengan isyarat (sampai-sampai dalil isyarat pun tidak ada).
    Dan tidak pernah dinukil dari seorang pun Sahabat (bahwa mereka pernah mengirim bacaan Al Qur’an kepada orang yang telah mati).
    Kalau sekiranya perbuatan itu baik, tentu para Sahabat telah mendahului kita mengamalkannya.
    Dan dalam masalah peribadatan hanya terbatas kepada dalil tidak bileh dipalingkan dengan bermacam qiyas dan ra’yu (pikiran).”
    Jadi, dari keterangan ibnu Katsir ini jelas bahwa perbuatan membaca Al Qur’an dengan tujuan pahalanya disampaikan kepada si mayit tidak akan sampai, dan demikianlah pandangan ulama besar yang dianut oleh sebahagian besar kaum muslimin di negeri ini.
    Lantas, mengapa mereka berbeda dengan imam mereka sendiri?
    Wallahu a’lam.

    BalasHapus
  3. Ternyata kegiatan tahlilan ini dari sejak jaman sahabat dianggap sebagai kegiatan meratap yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
    Dari Jabir bin Abdillah Al Bajaliy, ia berkata:”Kami (yakni para Sahabat semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut mazhab kami para Sahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap.”
    Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (no 1612) dengan derajat yang shahih.
    Dan an niyahah/ meratap ini adalah perbuatan jahiliyyah yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam;
    Diriwayatkan dalam sahih Muslim dari Abu Hurairah radiyallahu anhu. bahawa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
    “Ada dua perkara yang masih dilakukan oleh manusia, yang kedua duanya merupakan bentuk kekufuran: mencela keturunan, dan meratapi orang mati”.

    BalasHapus
  4. FATWA-FATWA DARI ULAMA 4 MADZHAB MENGENAI SELAMATAN KEMATIAN

    I. KALANGAN DARI MADZHAB HANAFI
    • IMAM HASYIYAH IBNU ABIDIN
    Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah, hukumnya buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. Dan dalam kitab al-Bazaziyah dinyatakan bahwa makanan yang dihidangkan pada hari pertama, ketiga, serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya. (Muhammad Amin, Hasyiyah Radd al- Muhtar ‘ala al-Dar al-Muhtar (Beirut: Dar al-Fikr, 1386) juz II, hal 240)
    • IMAM AL-THAHTHAWI
    Hidangan dari keluarga mayit hukumnya makruh, dikatakan dalam kitab al- Bazaziyah bahwa hidangan makanan yang disajikan PADA HARI PERTAMA, KETIGA, SERTA SEMINGGU SETELAH KEMATIAN MAKRUH HUKUMNYa. (Ahmad bin Ismain al-Thahthawy, Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah (Mesir: Maktabah al-Baby al-Halaby, 1318), juz I hal 409).
    • IMAM IBNU ABDUL WAHID SIEWASI
    Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah. hukumnya bid’ah yang buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. (Ibn Abdul Wahid Siewasy, Syarh Fath al-Qadir (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 142)


    BalasHapus
  5. II. KALANGAN DARI MADZHAB MALIKI
    • IMAM AL-DASUQY
    Adapun berkumpul di dalam rumah keluarga mayit yang menghidangkan makanan hukumnya bid’ah yang dimakruhkan. (Muhammad al-Dasuqy, Hasyiyah al- Dasuqy ‘ala al-Syarh al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 419)
    • IMAM ABU ABDULLAH AL-MAGHRABI
    Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut dimakruhkan oleh mayoritas ulama, bahkan mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai bagian dari bid’ah, karena tidak didapatkannya keterangan naqly mengenai perbuatan tersebut, dan momen tersebut tidak pantas untuk dijadikan walimah (pesta)… adapun apabila keluarga mayit menyembelih binatang di rumahnya kemudian dibagikan kepada orang- orang fakir sebagai shadaqah untuk mayit diperbolehkan selama hal tersebut tidak menjadikannya riya, ingin terkenal, bangga, serta dengan syarat tidak boleh mengumpulkan masyarakat. (Abu Abdullah al-Maghraby, Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil (Beirut: Dar al-Fikr, 1398) juz II, hal 228)

    BalasHapus
  6. III. KALANGAN MADZHAB SYAFI’I
    • IMAM AL-SYARBIN
    Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, Mughny al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 386) Adapun kebiasaan keluarga mayit menghidangkan makanan dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, al-Iqna’ li al-Syarbiny (Beirut: Dar al-Fikr, 1415) juz I, hal 210)
    • IMAM AL-QALYUBI
    Guru kita al-Ramly telah berkata: sesuai dengan apa yang dinyatakan di dalam kitab al-Raudl (an-Nawawy), sesuatu yang merupakan bagian dari perbuatan bid’ah munkarah yang tidak disukai mengerjakannya adalah yang biasa dilakukan oleh masyarakat berupa menghidangkan makanan untuk mengumpulkan tetangga, baik sebelum maupun sesudah hari kematian.(a l- Qalyuby, Hasyiyah al-Qalyuby (Indonesia: Maktabah Dar Ihya;’) juz I, hal 353)
    • IMAM AN-NAWAWI
    Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disunnahkan. (an-Nawawy, al-Majmu’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1417) juz V, hal 186) IBN HAJAR AL-HAETAMY Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah munkarah yang dimakruhkan, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (Ibn Hajar al-Haetamy, Tuhfah al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 577)

    • AL-SAYYID AL-BAKRI ABU BAKR AL-DIMYATI
    Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah yang dimakruhkan, seperti hukum mendatangi undangan tersebut, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I’anah at-Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 146)
    • IMAM AL-AQRIMANI
    Adapun makanan yang dihidangkan oleh keluarga mayit pada hari ketiga, keempat, dan sebagainya, berikut berkumpulnya masyarakat dengan tujuan sebagai pendekatan diri serta persembahan kasih sayang kepada mayit, hukumnya bid’ah yang buruk dan merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah yang tidak pernah muncul pada abad pertama Islam, serta bukan merupakan bagian dari pekerjaan yang mendapat pujian oleh para ulama. justeru para ulama berkata: tidak pantas bagi orang muslim mengikuti perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang kafir. seharusnya setiap orang melarang keluarganya menghadiri acara-acara tersebut. ((al-Aqrimany hal 314 dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285)
    • RAUDLAH AL-THALIBIEN an makanan oleh keluarga mayit dan pengumpulan masyarakat terhadap acara tersebut, tidak ada dalil naqlinya, bahkan perbuatan tersebut hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Raudlah al-Thalibien (Beirut: al- Maktab al-Islamy, 1405) juz II, hal 145)

    BalasHapus
  7. 1. MADZHAB HAMBALI
    • IMAM IBNU QUDAMAH AL-MUQADDASI
    Adapun penghidangan makanan untuk orang-orang yang dilakukan oleh keluarga mayit, hukumnya makruh. karena dengan demikian berarti telah menambahkan musibah kepada keluarga mayit, serta menambah beban, sekaligus berarti telah menyerupai apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. dan diriwayatkan bahwa Jarir mengunjungi Umar, kemudian Umar berkata: “Apakah kalian suka berkumpul bersama keluarga mayat yang kemudian menghidangkan makanan?” Jawab Jarir: “Ya”. Berkata Umar: “Hal tersebut termasuk meratapi mayat”. Namun apabila hal tersebut dibutuhkan, maka diperbolehkan, seperti karena diantara pelayat terdapat orang-orang yang jauh tempatnya kemudian ikut menginap, sementara tidak memungkinkan mendapat makanan kecuali dari hidangan yang diberikan dari keluarga mayit. (Ibn Qudamah al-Muqaddasy, al-Mughny (Beirut: Dar al-Fikr, 1405) juz II, hal 214)
    • IMAM ABU ABDULLAH IBN MUFLAH AL-MUQADDASI
    Sesungguhnya disunahkan mengirimkan makanan apabila tujuannya untuk (menyantuni) keluarga mayit, tetapi apabila makanan tersebut ditujukan bagi orang-orang yang sedang berkumpul di sana, maka hukumnya makruh, karena berarti telah membantu terhadap perbuatan makruh; demikian pula makruh hukumnya apabila makanan tersebut dihidangkan oleh keluarga mayit) kecuali apabila ada hajat, tambah sang guru [Ibn Qudamah] dan ulama lainnya).(A bu Abdullah ibn Muflah al-Muqaddasy, al-Furu’ wa Tashhih al-Furu’ (Beirut: Dar al-Kutab, 1418) juz II, hal 230-231)
    • IMAM ABU ISHAQ BIN MAFLAH AL-HANBALI
    Menghidangkan makanan setelah proses penguburan merupakan bagian dari niyahah, menurut sebagian pendapat haram, kecuali apabila ada hajat, (tambahan dari al-Mughny). Sanad hadits tentang masalah tersebut tsiqat (terpercaya). (Abu Ishaq bin Maflah al-Hanbaly, al-Mabda’ fi Syarh al-Miqna’ (Beirut: al-Maktab al-Islamy, 1400) juz II, hal 283)
    • IMAM MANSHUR BIN IDRIS AL-BAHUTI
    Dan dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk menghidangkan makanan kepada para tamu, berdasarkan keterangan riwayat Imam Ahmad dari Shahabat Jarir. (Manshur bin Idris al-Bahuty, al-Raudl al-Marbi’ (Riyadl: Maktabah al-Riyadl al-Hadietsah, 1390) juz I, hal 355)
    • IMAM KASYF AL-QANA’
    Menurut pendapat Imam Ahmad yang disitir oleh al-Marwadzi, perbuatan keluarga mayit yang menghidangkan makanan merupakan kebiasaan orang jahiliyah, dan beliau sangat mengingkarinya…dan dimakruhkan keluarga mayit menghidangkan makanan (bagi orang-orang yang sedang berkumpul di rumahnya kecuali apabila ada hajat, seperti karena di antara para tamu tersebut terdapat orang-orang yang tempat tinggalnya jauh, mereka menginap di tempat keluarga mayit, serta secara adat tidak memungkinkan kecuali orang tersebut diberi makan), demikian pula dimakruhkan mencicipi makanan tersebut. Apabila biaya hidangan makanan tersebut berasal dari peninggalan mayit, sedang di antara ahli warisnya terdapat orang (lemah) yang berada di bawah pengampuan, atau terdapat ahli waris yang tidak memberi izin, maka haram hukumnya melakukan penghidangan tersebut. (Kasyf al-Qina’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1402) juz II, hal 149)
    • SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH
    Adapun penghidangan makanan yang dilakukan keluarga mayit (dengan tujuan) mengundang manusia ke acara tersebut, maka sesungguhnya perbuatan tersebut bid’ah, berdasarkan perkataan Jarir bin Abdillah: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. (Ibn Taimiyah, Kutub wa Rasail wa Fatawa Ibn Taimiyah fi al-Fiqh (Maktabah Ibn Taimiyah) juz 24, hal 316)
    Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat, bila ada kesalahan mohon maaf dan koreksinya. Sampaikanlah kepada saudara-saudara kita sebagai upaya untuk memperbaiki umat Islam ini
    Di rujuk kepada tulisan:
    Catatan Satu Hari, Satu Ayat Qur’an. Dengan editing dan penambahan literatur.
    http://www.facebook.com/note.php?saved&&suggest&note_id=119997524710098#!/note.php?note_id=402269969650&id=203164362857&ref=mf

    BalasHapus
  8. Menurutku Tahlilan itu keren dan baik, tatangga pada datang, saudara yg jauh juga datang dengan tujuan mendoakan almarhum. Dan memberi motivasi Kepada keluarga yg di tinggalkan Supaya sabar dan tabah , Nah klo mereka sudah datang Tapi tidak di beri hidangan Walau sekedarnya , itu namanya tidak sopan dan tidak menghormati tamu. Dan Tahlilan ini termasuk budaya Dan tradisi yg baik Sebagai orang timur yg Ramah dan santun. Klo di Arab Budaya seperti tahlilan itu memang kurang memungkinkan di nilai dari beberapa hal. Di Arab itu sejak dulu memang Jarang sekali kumpul kumpul dengan tetangga Di rumah tetangga, atau mengunjungi tetangga mereka jarang. Terkadang dengan tetangga tidak begitu akrab. Jarang senyum dan agak cemberut. Mereka ketemunya cuma Pas di masjid. Dan saat lebaran idul fitri juga beda antara di arab dan di indonesia. Di arab Tidak begitu meriah mereka cuma mengunjungi sodara atau orang yg sudah Di kenal dekat, klo di indonesia kita akan mengunjungi tetangga dari ujung Kampung sampai ujung, kenal gak kenal di datangi. Dan Budaya negara kita Sejak nenek moyang, ada gotong royong. Ada kerja bakti, ada grebek kampung, dari ujung kampung sampai ujung semua saling kenal. Klo ada yg meninggal semua pada datang, dan mereka yg datang itu tidak di undang, mereka datang sendiri Tanpa di paksa. Justru mereka datang membawa Sembako, beras gula dll. Klo sudah datang terus tidak di beri hidangan sekedarnya. Itu sangat tidak sopan dan tidak menghormati tamu. Nah Mereka sudah datang tanpa di undang maksud mereka turut berbela sungkawa. Terus kita usir mereka dengan ngomong ini bidah ini tidak boleh. Tentu itu tidak baik tidak menghormati tamu dan sudah pasti menyakiti hati mereka, datang bermaksud baik tapi di usir udah gitu di katain bidah macam2. Bisa2 satu kampung tidak mau lagi menegurnya. Itu pendapat saya yg saya dapat dari guru saya

    BalasHapus
    Balasan
    1. menurut saya anda ini gak karuan, tidak cerdas dan tidak
      menerima nasehat, jika anda di kaitkan dengan artikel di atas,
      jika saya memilih sya lebih pilih percaya nabi ketimbang anda,
      wassalam..

      Hapus
    2. Pak Anwar saya setuju dengan yang telah anda jelaskan terima kasih ilmunya

      Hapus
    3. Pak Anwar saya setuju dengan yang telah anda jelaskan terima kasih ilmunya

      Hapus
  9. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  10. tidak ada yang memimpin tahlilan saat NABI MUHAMMAD SAW wafat, alasannya karena NABI MUHAMMAD SAW adalah maksum dan beliau sudah dijamin dengan rahmat ALLAHU SWT masuk surga, :) , kalau saat RASULLLAH SAW wafat diadakan tahlilan itu artinya menganggap dan menuduh NABI tidak maksum, :) , tahlilan hanya berlaku bagi mereka yang tidak maksum dan tidak mendapat jaminan rahmat masuk SURGA, :) , karena RASULULLAH SAW adalah maksum maka tidak ada tahlilan untuk beliau karena tidak ada tahlilan maka tidak ada seorangpun yang memimpin tahlilan.

    BalasHapus
  11. Tidak semua amalan islam mesti selalu dengan apa yang dilakukan oleh Rosulullah karena ada amalan yang tidak dilakukan oleh beliau tetapi disetujui oleh beliau. Misal bersedekah pahalanya untuk orang lain, mendoakan orang meninggal, membaca kalimat takbir, tahlil dan tasbih berjamaah. Amalan-amalan tersebut bila dirangkaikan dalam waktu dan tempat yang sama supaya praktis jadilah yang kita kenal dengan nama "tahlilan". Permasalahan biaya dari mana biasanya (ditempat saya) ada sumbangan atau bantuan dari tetangga, berupa uang atau bahan makanan, dan peralatan lain. Yang memasak dan menyiapkan tetangga, gratis tidak bayar. Ahli waris merasa senang karena ada yang menemani, datang menghibur dikala mendapat musibah, mereka tentram karena tetangga peduli dan membantu mereka disaat sulit. Ini menunjukkan gotong royong dan ukhuwahnya kuat. Kalau ditempat lain yang mungkin keberatan dengan acara tersebut mungkin apa-apa ditanggung sendiri sehingga terasa berat. Menurut saya permasalahannya ada pada rendahnya rasa gotong royong. Di tempat saya juga beberapa kali tahlilan tanpa hidangan, yang datang juga banyak, tidak ada cemooh.

    Seandainya setiap amalan itu harus apa yang dilakukan oleh Beliau Rosulullah maka misal sholat tarowih (berjamaah) hanya pada 2 ataua 3 hari pertama atau beberapa malam ganjil bulan Romadlon saja karena itu yang beliau lakukan. Sama halnya dengan perayaan maulud/milad. Saat sekarang ini, hampir setiap organisasi keagamaan Islam merayakan milad/ulang tahun, hampir pasti setiap tahun sehingga rutin denga anggaran yang besar, ada makanan dihidangkan, ada uang yang dibelanjakan. Tapi tidak seorang pun yang keberatan dengan acara tersebut. Kenapa harus setiap tahun. Ya namanya milad. Tapi Rosulullah tidak merayakan hari lahir dengan begitu, beliau berpuasa, bersedekah.
    Mungkin apa yang saya tulis bisa menjadi pelengkap diskusi ini. Maaf jika ada yang kurang berkenan. Terima kasih. Wassalam

    BalasHapus